Kamis 22 May 2014 16:00 WIB
sudut pandang

Mengeluhkan Subsidi

Red:

Buruknya pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) terus menjadi nilai merah Indonesia di mata investor. Bukannya tidak ada yang bisa dilakukan. Kenyataannya, alasan mengapa APBN selalu terbebani adalah porsi subsidi yang besar, terutama untuk bahan bakar minyak (BBM).

Subsidi BBM telah membuat ruang fiskal menjadi terbatas. Tahun ini saja, alokasi belanja subsidi diperkirakan melampaui pagu dalam APBN Perubahan 2013, yaitu Rp 199,8 triliun. Proyeksi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, besaran subsidi akan melebihi Rp 220 triliun dalam beberapa tahun ke depan.

Konsumsi BBM juga terus membengkak. Realisasi penyaluran BBM bersubsidi hingga 31 Maret 2014 sudah mencapai 11,2 juta kiloliter (kl). Angka ini setara 23,6 persen terhadap kuota BBM bersubsidi yang dialokasikan APBN 2014 kepada Pertamina sebanyak 47,35 juta kl. Hal ini menunjukkan pertumbuhan sekitar 1,6 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2013 yang sebesar 11,02 juta kl.

Berbagai wacana dilontarkan untuk mengendalikan konsumsi BBM. Baru-baru ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik melontarkan ide untuk mengharamkan penjualan BBM subsidi pada hari libur dan tiap akhir pekan.

Sebelumnya, beragam langkah pengendalian telah ditempuh pemerintah. Seperti pemasangan radio frequenty identification (RFID), kenaikan harga BBM, konversi BBM dan BBG, pengurangan pemakaian BBM untuk pembangkit listrik dan transportasi massal. Selain itu, penggunaan biodiesel pada kendaraan dinas.

Namun, tak ada satu pun langkah tersebut yang berhasil menghentikan pembengkakan konsumsi BBM. Kesalahan pemerintah adalah hobi menyelesaikan masalah yang tampak di permukaan dengan langkah instan yang berefek singkat. Akibatnya kebijakan yang ditelurkan tidak pernah menyentuh akar permasalahan. Masalah utama yang memicu hal ini sebenarnya satu, ketiadaan energi alternatif.

Sayangnya, pengembangan produksi energi selain BBM lambat dilakukan. Padahal, energi yang tersimpan di bumi Indonesia sangat beragam, tersedia, dan tinggal diolah. Namun, niat baik ke sana tidak ada. Hanya wacana yang berulang kali diungkapkan soal energy mix. Sampai sekarang realisasinya tidak kelihatan. Alhasil, BBM akan terus menjadi energi yang mayoritas digunakan rakyat Indonesia.

Ditambah lagi adanya mafia minyak yang diam-diam menggerogoti pemerintah sehingga upaya-upaya pengolahan dan eksplorasi energi alternatif kerap terganjal. Sebut saja, soal penetapan tarif energi baru yang bertahun-tahun baru kelar. Pembangunan pipa gas yang terus jadi polemik. Mereka tak rela ladang emasnya direnggut. Produksi energi baru yang masif hanya akan membolongi kantong mereka.

Hanya komitmen yang kuat dari pemerintah yang bisa membuat produksi energi alternatif bisa digiatkan. Perbanyak insentif agar investor tertarik untuk masuk ke bisnis ini. Terapkan tarif keekonomian sehingga keuntungan yang bisa didapat pelaku usaha besar dan membuat mereka bersemangat mengeksplorasi energi baru. Permudah izin agar upaya ini bisa berjalan lebih cepat.

Bila ketergantungan masyarakat akan BBM bisa dicarikan jalan keluarnya, APBN tidak perlu dipusingi lagi oleh subsidi BBM. Anggaran triliunan yang tadinya digunakan untuk subsidi bisa dialihkan untuk program yang lebih penting, yaitu pembangunan infrastruktur dan pendidikan.

Buruknya kualitas infrastruktur negeri ini membuat biaya logistik mahal. Harga barang pun meningkat. Selanjutnya, inflasi mendera. Infrastruktur membuat pertumbuhan ekonomi tidak merata di seluruh Indonesia. Jangan salahkan bila semakin banyak gerakan separatis yang menginginkan pemisahan diri dari NKRI karena merasa dianaktirikan.

Ini bom waktu, yang bila tidak dijinakkan bisa meledak kapan pun. Cepat atau lambat.

Oleh : Fitria Andayani

Twitter : @FitriaAndayani

sumber : http://pusatdata.republika.co.id/detail.asp?id=737534
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement