JAKARTA -- Polisi wanita (polwan) yang ingin menggunakan jilbab sebagai bagian dari pelaksanaan ibadah sesuai keyakinannya seharusnya tidak boleh dilarang instansi manapun, termasuk pimpinan Polri. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nurcholis mengatakan, memakai jilbab itu pilihan seseorang.
"Yang penting kan tidak mengganggu pekerjaan, maka dipersilakan untuk memakai jilbab. Tidak bisa dilarang-larang," kata Nurcholis kepada Republika di Jakarta, Kamis (3/7).
Nurcholis melanjutkan, polemik jilbab polwan seharusnya berhenti manakala Komisi III DPR menyetujui anggaran pengadaan jilbab untuk polwan pada 2015. Dengan adanya persetujuan DPR tersebut, sudah selesai permasalahan anggaran pengadaan seragam jilbab polwan yang selama ini menjadi alasan Polri.
Kini, kata Nurcholis, Polri tinggal mengimplementasikannya dan tidak memunculkan polemi-polemik baru yang tidak substansial.
Apalagi, secara teknis, Polri tidak akan mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan kebijakan jilbab polwan. "Organisasi Polri itu kan rapi dan terstruktur. Artinya, kebijakan dari pusat sampai ke daerah sama akan diikuti sehingga tinggal dilaksanakan saja kebijakan tersebut," ujar Nurcholis.
Ketua Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Tutty Alawiyah mengapresiasi keputusan DPR yang mengabulkan anggaran jilbab polwan. Menurut Tutty, keputusan DPR tersebut ibarat lampu hijau bagi polwan yang ingin berjilbab.
"Keputusan itu melegakan sekaligus memberikan semangat kepada polwan yang belum memakai jilbab agar memakai. Saya lihat polwan hijabers ini bertahap sekali, seperti artis-artis yang mulai banyak mengenakan jilbab," kata Tutty.
Dia melanjutkan, masalah anggaran sebenarnya bukan faktor utama dalam konteks pembolehan polwan berjilbab. Seandainya polwan yang ingin berjilbab tidak diberi anggaran dari negara pun, Tutty meyakini mereka bisa mengurus hal itu sendiri. Ormas-ormas Islam juga bisa menggalang dana untuk mendukung polwan berjilbab.
Juru Bicara Muslimah Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) Iffah Ainur Rochmah menyatakan, Polri sudah tidak mempunyai alasan lagi untuk menunda peraturan tentang polwan berjilbab. HTI pun mengapresiasi keseriusan Komisi III DPR yang memberikan jalan bagi polwan untuk menutup auratnya. "Sekarang tinggal segera saja direalisasikan. Sudah tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda," kata Iffah kepada Republika, Kamis (3/7).
Iffah melanjutkan, persoalan serius mengenai kebijakan jilbab polwan selama ini adalah hambatan bagi Muslimah untuk menutup auratnya. Hambatan-hambatan tersebut bersifat teknis. Adapun faktor anggaran bukanlah masalah utama. Karena itu, HTI menyayangkan sikap Polri yang tidak begitu memperhatikan saat para polwan menyampaikan kemampuannya memakai seragam dengan dana pribadi.
"Kami mengkritik sikap seperti ini, seharusnya tidak boleh ada pejabat yang menghalangi seseorang untuk menjalankan aturan syariat Islam," kata Iffah.
Dalam rapat kerja antara Komisi III dan Polri yang diwakili Wakapolri Komjen Polisi Badrodin Haiti, Rabu (2/7), DPR sudah menyetujui anggaran jilbab polwan. Menurut Badrodin, pada 2015, Polri akan mendapatkan total anggaran mencapai Rp 47,566 triliun. Anggaran tersebut diperuntukan untuk 13 program yang mencakup enam program generik dan tujuh program teknis guna menunjang operasi 1.230 satuan kerja di lingkungan Polri. Alokasi untuk program generik mencapai Rp 34,515 triliun, sedangkan program teknis Rp 13,051 triliun. Anggaran jilbab polwan masuk ke dalam alokasi dana program generik.
Dalam rapat kerja tersebut, Wakapolri juga memperlihatkan model jilbab polwan kepada anggota Komisi III melalui peragaan seorang staf polwan. Jilbab polwan rancangan Polri berwarna cokelat tua dengan tambahan sedikit warna krem pada bagian di atas dahi. rep:c54/c87 ed: eh ismail