Rabu 20 Aug 2014 12:00 WIB

Sosok Pemikir Hario Ketjik Tinggal Kenangan

Red:

Raden Suhario Padmodiwirio. Itulah nama asli Hario Ketjik, pahlawan nasional yang pernah merasakan sengitnya perang kemerdekaan 1945 di Surabaya, Jawa Timur.

Selasa (19/8), setelah perayaan Hari Kemerdekaan ke-69 Republik Indonesia, Hario meninggal di Bekasi, Jawa Barat. "Setelah sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi, beliau akhirnya mengembuskan napas terakhir pukul 13.15 WIB," kata putra kedua Hario Ketjik, Girindro Hananto Seno.

Menurut Girindro, janazah Hario akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Surabaya, Rabu (20/8). Jenazah kemarin tiba di rumah duka di Kompleks Perumahan Jaka Permai, Jalan Kalingga 17 Bekasi, Jawa Barat, sekitar pukul 16.00.

Terlihat sejumlah karangan bunga ucapan turut berduka berjajar di halaman rumah yang sederhana itu. Tak lama setelah jenazah tiba, kerabat dan keluarga sang pahlawan berdatangan menyampaikan belasungkawa.

Daniel Chandra Lubis (73 tahun), salah seorang sahabat Hario, mengatakan, Hario adalah pribadi sederhana. Meski sebagai pejuang pangkat terakhir Hario adalah Mayor Jenderal, hingga akhir hayatnya Hario tidak memiliki rumah sendiri. "Rumah yang di Bekasi milik putra dan putri beliau," kata Daniel.

Menurut Daniel, sebagai seorang veteran yang berjuang mengusir tentara Inggris di Surabaya pada 1945, sudah selayaknya Hario mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Sayangnya, kata Daniel, Hario tak mendapatkan tunjangan pensiun sebagai veteran meski tanda jasa yang dimiliki begitu banyak.

Pria yang telah mengenal Hario Ketjik selama 50 tahun ini juga mengatakan, Hario menghabiskan sisa masa hidupnya dengan menulis dan melukis. Hario adalah pribadi yang sangat mencintai keindahan alam. Kepada Daniel, Hario pernah berpesan agar dirinya tidak dikirimi bunga saat meninggal karena bunga seharusnya tetap tumbuh di alam, tidak untuk dipetik atau dipotong.

Hario juga dikenal sebagai sosok pemikir dan penulis. Beberapa buku telah diterbitkan Hario, yakni Pemikiran Militer Jilid 1-10, Memoar Hario Ketjik sebagai Prajurit Militer Jilid 1-3, dan beberapa novel. Hario sengaja menulis agar dapat mewariskan sesuatu bagi Indonesia.

Sejarawan Universitas Indonesia, Anhar Gonggong, mengenang Hario sebagai pejuang hebat yang pernah bertempur di Surabaya pada 1945. Ia menyayangkan stigma PKI yang sempat melekat di tubuh Hario yang mengakibatkan hidupnya penuh kesulitan tanpa tunjangan pensiun meski berstatus pahlawan.

"Saya mendapat informasi, Bapak Soemitro yang menggantikan Pak Hario Ketjik sebagai panglima di Kalimantan Timur meminta maaf kepada beliau atas tuduhan mengikuti aliran kiri dan dipengaruhi PKI yang pernah ada di masa lampau," ujar Anhar.

Saat dituduh PKI, Hario terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengasingkan diri. "Beliau itu nasionalis ekstrem, artinya beliau sangat menunjukkan sikap patriotis dan membela Tanah Air. Jelas sekali sikap ini tidak sama dengan PKI," katanya.

Beberapa pemikiran intelektualnya kini abadi dalam buku-buku yang salah satu pengantarnya ditulis oleh Anhar. "Haryo Ketjik tidak mengagung-agungkan masa lampau, tetapi justru menjadikan masa lampau sebagai sorotan untuk masa kini."

Seorang pejuang yang juga pemikir, humanis, sastrawan, sekaligus seniman. Begitulah gambaran Haryo Ketjik di mata peneliti Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) sekaligus ahli sejarah, Asvi Marwan Adam.

Sebagai seorang Soekarnois, Hario pernah merasakan tindakan represif pemerintahan Orde Baru. Hario pernah ditahan lantaran dituduh sebagai simpatisan PKI. "Kita kehilangan seorang pemikir, lebih lagi seorang penulis produktif yang tidak kenal dimakan oleh usia," kata Asvi. rep:c72/c92/c83 ed: andri saubani

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement