Senin 22 Sep 2014 16:30 WIB
Sudut Pandang

Serangan Gugup

Red:

Musim panas 1994 menjadi mimpi buruk bagi Roberto Baggio. Pemain terbaik dunia 1993 itu berdiri diam dengan tangan di pinggang. Baggio baru saja gagal melakukan tendangan penalti. Lebih dari 94 ribu pasang mata yang memadati Rose Bowl, Pasadena, Amerika Serikat, menjadi saksi sejarah bola hasil tendangan Baggio melambung di atas mistar gawang.

Jutaan penggemar Baggio, termasuk mereka yang rela begadang melihat aksinya lewat layar kaca di Indonesia, terkejut dengan kegagalan itu. Baggio merupakan pemain yang nyaris tanpa cela sebelum membela Italia menghadapi Brasil di final Piala Dunia 20 tahun lalu. Kegagalan itu menjadi bayang-bayang hitam sepanjang sisa karier Baggio.

Namun, tidak semua pemain atau olahragawan gagal mengatasi kegugupan seperti halnya Baggio. Ada juga yang berhasil membalik kegugupan menjadi kemenangan. Saya teringat pertandingan final turnamen tenis Prancis Terbuka 2014 antara petenis asal Rusia, Maria Sharavopa, dan Simona Halep asal Rumania.

Sharapova terlihat gugup. Sharapova terkenal dengan kebiasaannya membalikkan badan ke arah penonton, menunduk, dan bergumam setiap kali dia gugup. Kala itu, permainan petenis berusia 27 tahun itu juga bukan tanpa cela. Dia mencatatkan 52 unforced errors atau kesalahan sendiri. Tapi, Sharapova tidak membiarkan kegugupan mengalahkannya. Kemenangan 6-4, 6-7, 6-4 atas Halep mengantarkannya merengkuh titel Prancis Terbuka yang kedua.

Kegagalan Baggio atau keberhasilan Sharapova menunjukkan serangan panik atau kegugupan merupakan hal yang akrab terjadi di dunia olahraga. Setiap atlet harus akrab dengan suasana tegang di lapangan. Kegugupan akan meningkat ketika sang pemain harus menghadapi laga dan turnamen penting.

Terkadang, para pemain gagal mengatasi kegugupan dan menjadikannya beban. Kadang-kadang, artinya tidak selalu gagal. Lalu, bagaimana kalau pemain selalu gagal mengatasi kegugupan? Ini mungkin menjadi pertanyaan yang kerap muncul di benak penonton bulu tangkis Indonesia.

Entah berapa pertandingan menjadi bukti kegagalan pemain Indonesia mengatasi kegugupan. Dalam beberapa pertandingan, pemain Indonesia sempat berhasil menyamakan kedudukan, sempat unggul, sempat memimpin, atau sempat memaksakan rubber game. Tapi, itu tadi, para pebulu tangkis Indonesia hanya "sempat memimpin" atau "sempat unggul", tetapi tidak berhasil memenangkan pertandingan. Pertandingan selalu menjadi milik tim lawan, negara lain.

Begitu pula ketika menyaksikan tim bulu tangkis putra dan putri Indonesia yang tersingkir dari perempat final Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan. Ini merupakan hasil terburuk karena tim bulu tangkis putra Indonesia tidak pernah gagal menyumbang medali sejak 1966.

Kegagalan Indonesia, khususnya tim putra, karena Tommy Sugiarto dan ganda putra Angga Pratama/Rian Agung Saputro gagal menyumbang poin. Angga/Rian, keduanya pebulu tangkis muda, sempat digadang-gadang bakal jadi the next big thing dalam ganda putra Indonesia. Tapi, penampilannya melempem beberapa tahun terakhir.

Kegagalan menyumbang poin dalam nomor beregu putra Asian Games 2014 menjadi puncak. PB PBSI mungkin membaca gelagat kedua pasangan muda itu gagal berkembang karena ketidakberhasilan mengatasi tekanan.

Menghadapi turnamen Prancis Terbuka Superseries, PBSI "menceraikan" keduanya dan memasangkan dengan pemain yang lebih senior. Angga akan berpasangan dengan Mohammad Ahsan, sedangkan Rian dengan Hendra Setiawan. Ini merupakan perjudian bagi PBSI mengingat Ahsan/Hendra adalah peringkat dua dunia dan juara bertahan All England.

Namun, persoalan kegagalan mengatasi kepanikan tidak hanya menjangkiti Angga dan Rian, tetapi juga pemain-pemain muda yang menghuni Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) Cipayung, Jakarta Timur. Jika "mencerai" Angga dan Rian nantinya membuahkan solusi, maka bagaimana dengan pemain-pemain lain? 

Apakah alasannya sekadar minim jam terbang? Atau, ada alasan lain yang membuat para pemain muda kerap gagal memenangkan pertandingan melawan pemain yang kelasnya berada di bawah mereka? PBSI memang sudah berupaya melakukan banyak perbaikan. Tetapi, solusi atas "mengapa pemain muda hanya berhasil sempat memimpin tanpa memenangkan pertandingan" belum terpecahkan. Ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi PBSI.

Sementara, menanti PBSI menemukan solusi agar para pemain muda tidak lagi menunjukkan penampilan buruk di angka kritis pada pertandingan penting, saya berharap Indonesia tidak terlalu babak belur pulang dari Incheon. Masih ada pertandingan nomor individu yang memperebutkan lima medali emas. Indonesia setidaknya berpeluang membawa pulang dua medali emas dan semoga itu menjadi kenyataan. Kalau tidak, maka hasil tahun ini benar-benar lebih buruk dari Asian Games 1966.

Oleh: Ratna Puspita

rpuspita@redaksi.republika.co.id

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement