Senin 10 Nov 2014 13:00 WIB

Perkataan yang Kosong

Red:

Pada pertengahan 1999, saat saya masih menjadi santri Pondok Pesantren Al-Muhdi, Krapyak Lor, Yogyakarta, saya mendapatkan wejangan dari pak kiai. Waktu itu menjelang pemilihan umum. Saya ingat betul saran pak kiai saat itu agar memilih partai yang diisi orang-orang baik yang amanah. "Sing omongane karo kelakuane podo. Pokoke ojo mileh sing mong iso ngomong tok." (Yang perkataannya dengan perbuatannya sama. Pokoknya jangan pilih yang hanya bisa berkata).

Setelah memberi wejangan itu, pak kiai membumbui wasiatnya dengan dua kisah. Kisah pertama tentang paman Rasulullah SAW, Abu Thalib. Paman Nabi yang satu ini dikenal sangat sayang dan melindungi Rasulullah. Sejak Muhammad kecil, Abu Thalib tidak rela apabila ada orang yang mengganggu keponakannya tersebut. Bahkan, saat mayoritas penduduk Makkah memusuhi Muhammad lantaran membawa ajaran Islam, Abu Thalib berada di barisan terdepan membela Rasulullah. Akan tetapi, sampai wafatnya Abu Thalib tetap dalam keyakinannya yang lama dan tidak memeluk Islam.

Abu Thalib mengatakan bahwa ajaran (agama baru) yang dibawa Muhammad adalah ajaran yang baik dan tidak boleh dilarang. Namun, penilaian Abu Thalib itu tetap tidak membuat sang paman mengimani Islam. Pak kiai kemudian mengatakan, Abu Thalib adalah salah satu gambaran mengenai orang yang hanya bisa bicara, tapi tidak bisa menjalankan apa yang dikatakannya. Abu Thalib mengatakan Islam itu benar, tapi dia tetap tidak mau masuk Islam. Kata pak kiai, orang-orang seperti Abu Thalib ini tetap masuk neraka.

Lalu, kisah kedua yang diceritakan pak kiai adalah cerita seorang Yahudi Makkah yang memerintahkan keluarganya mengikuti dan mentaati Islam dan Rasulullah. Si Yahudi tahu bahwa ajaran Muhammad membawa kebenaran. Namun, dia sendiri tidak mau masuk dan mengikuti agama Islam. Cerita tentang si Yahudi ini diabadikan dalam Alquran sebagai pengingat orang-orang yang berperilaku sepertinya. Ayat yang diturunkan Allah SWT adalah ayat ke-44 dalam surah al-Baqarah yang artinya, "Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebakian sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri. Padahal,  kamu membaca Alkitab (Taurat). Tidakkah kamu berpikir?"

Wejangan pak kiai 15 tahun silam itu kini kembali mengiang di ingatan saya. Dalam konteks "perpecahan DPR" yang masih terjadi sampai hari ini, saya melihat para anggota DPR seperti pengikut Abu Thalib dan si Yahudi itu. Betapa tidak, saya yakin betul saat berkampanye di hadapan rakyat, mereka selalu mengedepankan kata rakyat dan menjanjikan akan mengutamakan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Lalu, setelah terpilih, apa yang mereka lakukan? Benarkah mereka membela kepentingan rakyat? Jawabannya adalah hal yang kita lihat selama satu bulan 10 sehari terakhir ini.

Sejak dilantik pada 1 Oktober 2014, saya tidak melihat para anggota DPR bekerja untuk rakyat. Mereka sibuk "berkelahi" mengenai siapa yang berhak duduk di kursi alat kelengkapan dewan (AKD). Partai-partai yang bergerombol dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) alias pendukung presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) bersikeras mereka adalah pemilik hak kursi itu. Sementara, partai-partai yang berkerumun di Koalisi Merah Putih (KMP) yang tidak mengusung Jokowi-JK berjuang menguasai AKD DPR lantaran suara mereka mayoritas di Kompleks Parlemen Senayan.

Sama-sama tak mau mengalah, terjadilah dua gerbong DPR. Buntutnya, DPR tak bisa bekerja. Tak pernah sekalipun DPR menggelar rapat kerja dengan pemerintah. Padahal, sudah banyak agenda strategis dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang harus mendapatkan persetujuan DPR. Beragam pembahasan ini tentu mengatasnamakan kepentingan bangsa dan rakyat. Contohnya, rencana pertemuan-pertemuan luar negeri yang harus dikonsultasikan Kementerian Luar Negeri dengan DPR, kebijakan Kementerian Pertanian tentang ketahanan pangan, dan penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 yang mendesak dikoordinasikan dengan DPR.

Dengan perpecahan DPR, semua hal itu lumpuh. Artinya, kelakuan para anggota DPR tidak sejalan dengan hal yang mereka janjikan di hadapan rakyat. Saya berdoa, semoga DPR bisa cepat keluar dari konflik egoisme kelompok dan menyadari komitmen mereka untuk mementingkan rakyat. Saya berdoa, semoga DPR kali ini tidak mengulangi keburukan orang-orang yang hanya mampu mengeluarkan perkataan yang kosong. Perilaku yang dibenci Allah SWT sebagaimana terpatri dalam Alquran surah ash-Shaff ayat 2 dan 3, "Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Sungguh) amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."

Berdamailah wahai para anggota DPR. Rakyat menanti kerja nyata kalian. Jangan membuat kami memasukkan kalian kepada kelompok Abu Thalib dan orang-orang yang hanya mampu menyampaikan perkataan yang kosong. n

Oleh EH Ismail

email: [email protected]

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement