DHAKA -- Pemerintah Bangladesh tidak akan memberikan perlindungan bagi Muslim Rohingya yang eksodus dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Alasannya, mereka mengaku sudah terbebani dengan begitu banyaknya pengungsi asal negara tersebut.
"Meski UNHCR, badan pengungsi PBB, pada 18 November mendesak Bangladesh untuk membuka perbatasannya kepada Rohingya, pemerintah (Bangladesh) tidak akan mengubah kebijakan (memperketat perbatasan)," ujar seorang pejabat senior di Kementerian Luar Negeri Bangladesh, seperti dikutip dari Dhaka Tribune, Rabu (23/11). Pengetatan keamanan merupakan upaya Bangladesh untuk mencegah membanjirnya Muslim Rohingya.
Informasi ini coba dikonfirmasi Dhaka Tribune kepada Menteri Luar Negeri Shahidul Haque. Namun, yang bersangkutan mengaku tidak akan memberikan komentar terkait situasi terkini di Myanmar.
Awal pekan ini, Shahidul mengadakan pertemuan dengan pejabat tinggi Kementerian Dalam Negeri maupun petinggi kepolisian dan militer Bangladesh di kantor Kementerian Luar Negeri. Pertemuan itu telah memutuskan bahwa pemerintah tidak harus mengubah kebijakan terkait langkah memperketat perbatasan.
Sumber-sumber Dhaka Tribune menyebut, para pejabat yang hadir dalam pertemuan sepakat akan memberikan bantuan berupa makanan dan logistik kepada Muslim Rohingya. Seorang pejabat lainnya di Kementerian Luar Negeri mengaku bahwa Bangladesh ingin menarik perhatian masyarakat internasional dalam isu ini, bukan menjadikannya isu bilateral.
"Kami percaya isu Rohingya tidak pernah bisa diselesaikan secara bilateral sehingga perlu campur tangan internasional," katanya. Pada Ahad (20/11), Menteri Dalam Negeri Asaduzzaman Khan Kamal mengatakan, Pasukan Penjaga Perbatasan (BGB) dan Penjaga Pantai Bangladesh telah diperingatkan untuk mencegah masuknya Muslim Rohingya secara ilegal melalui perbatasan.
"Migrasi Rohingya adalah masalah yang tidak menyenangkan bagi Bangladesh. Mudah-mudahan tidak ada migrasi ilegal," kata dia.
Eskalasi serangan militer di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, membuat Muslim Rohingya mulai melakukan eksodus. Negara-negara yang menjadi tujuan mereka adalah Cina dan Bangladesh.
Pemerintah Cina mengklaim telah memberikan perlindungan terhadap lebih dari 3.000 Muslim Rohingya. Sementara itu, International Organization for Migration (IOM) menyatakan, lebih dari 500 orang Muslim Rohingya melakukan eksodus ke Bangladesh.
Sebuah lembaga kemanusiaan memproyeksikan sebanyak 30 ribu Muslim Rohingya berpotensi mengungsi jika konflik tak kunjung berakhir.
Dari Kuala Lumpur, Malaysia, Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia Khairy Jamaluddin sedang mengupayakan agar tim nasional Malaysia yang sedang berpartisipasi di Piala AFF 2016 menarik diri. Langkah ini diambil sebagai bentuk protes atas kekerasan yang menimpa Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
"Saya mengangkat hal ini dalam pertemuan kabinet pekan lalu. Kami masih melihat dan menunggu keputusan tentang rencana penarikan Malaysia dari turnamen AFF," ujar Khairy melalui jejaring sosial Twitter, Rabu (23/11). Myanmar merupakan salah satu dari dua tuan rumah Piala AFF 2016.
Negara ASEAN lain yang menjadi tuan rumah adalah Filipina. Malaysia yang tergabung di Grup B telah memenangi laga perdana kontra Kamboja dengan skor 3-2, Ahad lalu.
Pertandingan ketiga pada Sabtu (26/11) akan mempertemukan tim Harimau Malaya melawan Myanmar. Rencana ini jelas bertentangan dengan kebijakan nonintervensi yang disepakati oleh negara-negara ASEAN.
Namun, Khairy enggan ambil pusing. Menurut dia, keputusan terkait hal ini akan diambil dalam Sidang Kabinet di bawah pimpinan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Jumat (25/11).
"Apa artinya olahraga tanpa kemanusiaan? Apalagi, tindakan mereka sangat ekstrem terhadap salah satu etnis Myanmar dan mereka Muslim," kata Khairy. Tindakan ekstrem yang dimaksud meliputi pembakaran rumah, masjid, hingga pemerkosaan terhadap anak perempuan.
Petisi Myanmar
Sebuah kelompok warga yang berbasis di Inggris menyampaikan petisi berisi ribuan tanda tangan ke Kedutaan Besar Myanmar di London. Petisi itu meminta Pemerintah Myanmar menyelesaikan tragedi kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine.
Seperti dilansir Anadolu Agency, Burma Campaign UK menyampaikan petisi berisi 3.164 tanda tangan. Mereka juga memiliki beberapa permintaan, seperti mendesak Pemerintah Myanmar mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk hingga mencabut UU Tahun 1982 yang melarang penyelidikan PBB.
Direktur Burma Campaign UK Mark Farmaner menilai militer Myanmar memakai Aung San Suu Kyi sebagai perisai dan mengabaikan kritik masyarakat internasional atas pelanggaran HAM yang dilakukan. "Tindakan kekerasan militer di Rohingya sejak 9 Oktober lalu mengakibatkan ratusan warga Rohingya tewas, dan sedikitnya 30 ribu orang terpaksa mengungsi," katanya.
Mark turut mengkritik masyarakat internasional, yang terus-menerus memperlakukan Rohingya seperti bangsa yang tiada. Ini terlihat dari sajian berita seakan situasi itu cuma masa transisi yang membutuhkan bantuan teknis.
Padahal, Muslim Rohignya yang disebut PBB sebagai minoritas paling teraniaya di dunia, bertahun-tahun terus berusaha melarikan diri dari konflik di Myanmar, tersebar di negara-negara tetangga. "Situasi hak asasi manusia warga Rohingya semakin parah, tidak pernah lebih baik," ujar Mark. rep: Puti Almas, Wahyu Suryana, ed: Muhammad Iqbal