Jumat 06 Jan 2017 14:00 WIB

Redistribusi Harus Komprehensif

Red:

JAKARTA - Pakar agraria dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Satyawan Sunito, menjelaskan langkah pemerataan melalui redistribusi aset dan legalisasi tanah bukan kebijakan yang baru. Sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, program serupa juga dicanangkan.

"Tapi yang jadi permasalahan itu mencanangkan distribusi sumber daya yang lebih adil. Ini butuh pendekatan komprehensif," ujar Satyawan kepada Republika, di Jakarta, kemarin.

Menurut dia, sejak masa SBY, pencanangan redistribusi aset dan legalisasi tanah berjalan beriringan dengan pemberian konsesi kepada perusahaan-perusahaan besar, termasuk di dalamnya program Food Estate di Merauke, Papua. "Itu jalan bersama-sama. Ini dilihat sebagai sesuatu yang tidak bertentangan," kata Satyawan.

Ia menilai, dengan menyerahkan kepada pemodal-pemodal besar, sistem-sistem lokal setempat akan kacau. Masyarakat akan bergantung pada perusahaan-perusahaan hingga, yang paling miris, membuat orang menjadi kuli. "Ke depan, hal itu akan memperlemah kemandirian, bahkan menimbulkan konflik sosial," ujar Satyawan.

Oleh karena itu, dia menyebut redistribusi aset dan legalisasi tanah harus berjalan seiringan dengan moratorium pemberian konsesi dan pengurangan penanaman modal skala besar. Penambahan juga diperlukan dalam supporting system yang dikhususkan untuk penggunaan tanah skala kecil oleh masyarakat.

"Dalam artian, aparat pemerintah di daerah diperkuat. Dinas-dinas pertanian, balai pertanian, harus didedikasikan untuk mampu meneliti agroekosistem setempat. Pengembangannya harus melibatkan masyarakat sekitar," ujar Satyawan.

Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut Myrna A Safitri mengatakan, pemerataan melalui kebijakan redistribusi aset dan legalisasi tanah, memiliki sejumlah tantangan. Dari aspek lokasi, hal tersebut hanya bisa dicapai apabila instansi-instansi memiliki satu data dan satu peta. "Sekarang prosesnya masih berlangsung di Badan Informasi Geospasial," ujar Myrna.

Kemudian, dari kondisi riil di lapangan, dia menjelaskan, peta-peta pemanfaatan hutan oleh masyarakat juga harus dicermati. Target ini akan lebih jelas jika mereka juga turut dilibatkan (peta partisipatif).

Selain faktor data dan peta, aspek lain adalah dukungan pemerintah daerah (pemda). Hal tersebut penting, mengingat kebijakan tidak hanya bisa mengandalkan kebijakan nasional. "Dibutuhkan peraturan daerah dan kepala daerah). Pemda harus ada dalam gelombang yang sama dengan pusat," kata Myrna.

Terakhir, aspek krusial lainnya adalah pemerataan harus mempunyai perspektif lingkungan. Dengan begitu, redistribusi aset maupun legalisasi tanah harus sesuai dengan fungsi ekosistem.

Terkait lahan gambut, Myrna menyebutkan, BRG memiliki kewajiban merestorasi sekitar 2,49 juta hektare lahan di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, 400 ribu ha di antaranya belum ditemukan izin. "Itu potensial untuk reforma agrarian, perhutanan sosial, dan lain-lain," kata Myrna.     Oleh Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement