Terngiang-ngiang di kuping Fatin suara Abah, memohon pengertian mereka agar tidak mengambil semua hasil panennya. "Tolong, sisakan barang sedikit saja, yah, yah, tinggalkan…."
Lelaki paro baya itu sampai menyembah-nyembah. Namun, bukannya dituruti malah dibalas dengan bentakan dan hardikan kasar tiga lelaki berbadan tinggi kekar.
"Tidak bisa! Tunggakanmu sudah menumpuk!" hardik si Brewok.
"Iya, siapa suruh kamu menunggak utang terus?" sergah si Bosongot.
"Iya nih, gak tahu malu, hiiih!" timpal si Botak.
"Satu karung saja…. Buat makan anak-anak…." Suaranya memelas sekali.
"Tidak bisa! Kata Bos, harus diangkut semuanya!" teriak si Brewok.
Abah masih berusaha mempertahankan satu karung padi, setelah tak berhasil menjaga sepuluh karung yang diangkut ke atas mobil bak terbuka.
"Sana, sana, minggiiiir!" bentak si Botak.
Si Bosongot lain lagi reaksinya. Ia mendorong tubuh Abah keraskeras, hingga lelaki paro baya itu terjungkal dan terkapar di pematang sawah.
"Perhitungannya hanya sepuluh karung. Bukan lima belas, bukan semuanya!" protes Abah Amar, mengambang sia-sia. "Semuanya!" sergah si Botak ketus.
"Mengapa jadi diangkut semuanya? Aku mau ketemu Engkoh Acong!"
"Kamu sudah menunggak berbulan-bilan. Jadi harus ada bunganya!" jelas si Bosongot dari belakang kemudi.
"Engkoh Acong lagi ke Surabaya!" kata si Brewok.
Ketiga begundal suruhan Engkoh Acong sudah memasuki mobil bak terbuka, mulai melajukan kendaraannya.
Abah Amar segera bangkit. Ia masih ingin mempertahankan padinya. Abah berusaha mengejar mobil yang telah mengangkut semua padinya. Mereka tidak peduli, ketika Abah berhasil mengejar kendaraan nyaris saja terserempet.
"Abaaah! Jangaaan!" teriak Fatin.
Serentak gadis itu berlari menghampiri ayahnya diikuti oleh adik-adiknya.
"Sudah, sudah, aku tidak apaapa," kata Abah kembali bangkit. Sepasang matanya melayang ke arah mobil bak terbuka yang telah bergerak, melaju kian cepat dan kian cepat.
Fatin dan adik-adik pun hanya mendelong kosong, memandangi kendaraan yang mengangkut padi, tampak semakin menjauh.
Dari kejauhan pula Emak diamdiam memandangi anak-anak mengerumuni Abah. Emak merasa harus melakukan sesuatu.
Dipandanginya kupon beras miskin dalam genggaman tangannya.
Kupon sakti ini diperolehnya dari Pak Erwe tempohari.
"Jang, kamu di rumah saja, ya," ujar Emak kepada Sarjang yang sedang asyik menggambar.
(Bersambung)