Republika/Mahmud Muhyidin
BANDUNG Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) telah melakukan pendekatan untuk mendatangkan mantan pelatih Paris Saint-Germain (PSG), Luis Fernandez, sebagai calon pelatih tim nasional senior dan usia di bawah 23 tahun (U-23).
Adanya pendekatan itu telah dibenarkan oleh Duta Besar Indonesia untuk Spanyol, Yuli Mumpuni Widarso. Saat dihubungi Republika, Jumat (6/1) malam, Yuli mengaku Spanyol pernah diminta PSSI untuk memfasilitasi pertemuan dengan Luis Fernandez dan tiga pelatih asal negara Matador tersebut. ''Tapi sampai hari ini, yang bersangkutan (Luis Fernandez) dan pelatih-pelatih lainnya, belum ada yang mengajukan visa jangka panjang untuk ke Indonesia,'' kata dia.
Sementara itu, pihak PSSI masih belum bersedia untuk mengonfirmasi perihal penunjukan Fernandez sebagai pengganti Alfred Riedl. Sambil bergurau, sekretaris jenderal (Sekjen) PSSI, Ade Wellington, menyatakan,''Itu cuma isu.''
Wakil Ketua Umum PSSI, Joko Driyono, kepada Republika mengatakan, untuk penunjukan pelatih timnas nantinya dipisahkan ke dalam tiga kategori. Untuk pelatih utama, kata dia, dibutuhkan pelatih berpengalaman untuk mengasuh timnas senior dan U-23. Dua pelatih lainnya untuk timnas U-19 dan U-16. ''Nanti, ketua umum yang akan mengumumkan. Nama-nama ini sudah ada tapi belum final. Di kongres akan diumumkan,'' kata Joko.
Joko menyatakan, rencana pengumuman pelatih timnas ini merupakan salah satu bahasan utama dari gelaran Kongres PSSI yang digelar di Bandung, Ahad (8/1). Selain nama Fernandez yang dikabarkan menjadi pelatih timnas, dua nama lainnya yang sudah berhembus adalah Pelatih Bali United, Indra Sjafri, dan Rudy Eka Priyambada. Indra kabarnya diminta melatih timnas U-19. Sedangkan Rudy Eka Priyambada bakal dipercayakan menangani timnas U-16.
Selain pengumuman pelatih timnas, agenda lain yang akan dibahas pada Kongres PSSI 2017 ini adalah persoalan rekonsiliasi terhadap tujuh klub yang masih bermasalah. Tujuh klub tersebut adalah Persebaya Surabaya, Arema Indonesia, Persipasi Bekasi, Persema Malang, Lampung FC, Persewangi Banyuwangi, dan Persibo Bojonegoro.
Ade mengatakan, sejauh ini pihak Exco PSSI sudah menyetujui agar nasib tujuh klub bermasalah itu segera mendapat jawaban terhadap status keanggotaannya dari para pemilik suara. Sebagaimana diketahui, klub-klub dari Divisi Utama itu sejak 2013 telah dicoret keanggotaannya sebagai anggota PSSI, karena mengikuti gelaran kompetisi ilegal ketika PSSI mengalami dualisme kepemimpinan. Khusus Persebaya Surabaya, Ade mengatakan, para pemilik suara yang akan menentukan. ''Apakah kembali diterima (sebagai anggota) atau tidak. Tapi semangatnya, kita ingin agar ada rekonsiliasi,'' ujarnya.
Lebih lanjut Ade menjelaskan, untuk persiapan menuju kongres hingga kini sudah rampung. ''Sudah siap 99 persen. Bahasan dalam kongres juga sudah disetujui bersama ketua umum dan anggota dalam (rapat) Exco tadi malam,'' jelasnya, Sabtu (7/1).
Dia menjelaskan, kongres kali ini tetap dihadiri sekitar 107 anggota federasi pemilik suara. Para pemilik suara itu terdiri dari Asosiasi Provinsi (Asprov) dan klub-klub di sejumlah level kompetisi Tanah Air. Jumlah pemilik suara itulah yang bakal menjadi penentu keputusan dan persetujuan pembahasan yang disorongkan pihak PSSI.
Anggota Exco PSSI, Gusti Randa menambahkan, persoalan tujuh klub bermasalah sebetulnya bukan agenda tunggal. Ada agenda lain yang terkait dengan hal tersebut, yakni menyangkut nasib pengurus PSSI lama yang berstatus terhukum. Pada Kongres Tahunan PSSI 2016 di Jakarta, 10 November lalu, ada enam mantan pengurus PSSI lama yang dianggap terhukum lantaran kasus-kasus masa lampau.
Enam nama yang saat ini dilarang PSSI terlibat dalam urusan sepak bola Tanah Air itu adalah mantan Ketua Umum PSSI Djohar Arifin Husain, Farid Rahman, Sihar Sitorus, dan Tuti Dau. Ada juga nama Bob Hippy dan Widodo Santoso. Ketujuh nama itu dalam kongres sebelumnya telah diusir lantaran cacat hukum di internal.
''Status-status mereka nanti diserahkan kepada anggota apakah akan dipulihkan atau tidak. Semuanya voters yang menentukan,'' ujar Gusti. rep: Bambang Noroyono, ed: M Akbar