Oleh: Nurul S Hamami -- Bila tidak ada aral melin tang, besok (22/7) Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumkan pe me nang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Masyarakat luas yang sempat dibingungkan oleh hitung cepat (quick count) sejumlah lem baga survei yang hasilnya berbeda, hari itu akan mendapat kepastian siapakah presiden dan wakil presiden terpilih yang akan memimpin Indonesia sepanjang lima tahun ke depan.
Tentu saja kita berharap kedua pa sangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) bisa lapang dada dan kesatria menerima hasil peng hitungan yang dilakukan oleh KPU se ba gai hasil resmi penyelenggara pemilu. Hal ini akan berdampak pada suasana yang damai di akar rumput, sehingga tidak terjadi konflik yang bisa memecah belah persatuan nasional. Kalaulah mera sa tidak puas karena adanya indikasi ke curangan, bisa mengadukannya ke Mah kamah Konstitusi untuk meminta keadilan.
Foto:Aditya Pradana Putra/Republika
Koalisi Merah Putih
Dengan pengumuman resmi hasil penghitungan KPU, masyarakat nantinya bisa pula langsung mengetahui mana lem baga survei yang kredibel dan mana yang "abal-abal". Memang belum diatur da lam UU Pemilu terkait lembaga-lem ba ga survei yang abal-abal dan hasil hi tung cepatnya justru malah berpotensi me micu konflik horisontal. Biarlah ma syarakat sendiri yang menilainya dan memberikan sanksi sosial berupa keti dak percayaan terhadap orang-orang yang berada di belakang lembaga abal-abal itu.
Masa depan koalisi
Pengumuman pemenang pilpres besok juga akan menjadi penentu masa depan koalisi partai-partai pendukung capres dan cawapres. Utamanya, yakni partaipartai yang bersatu mengusung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Ini me nyusul pendekalarasian yang mereka lakukan di Tugu Proklamasi, Jakarta, Senin (14/7), sebagai sebuah koalisi permanen.
Merujuk sebutannya, partai-partai pengusung Prabowo-Hatta menginginkan koalisi di antara mereka menjadi suatu koalisi yang tetap. Artinya, mereka ber sepakat untuk tidak tercerai-berai setelah pengumuman hasil pilpres oleh KPU. Apa pun yang terjadi, keenam partai tersebut yakni Gerindra, PAN, Golkar, PPP, PKS, dan PBB yang diwakili para ketua umum nya mengikat perjanjian untuk tetap berada dalam satu barisan. Se dangkan Demokrat tidak diwakili oleh ketua umum maupun pengurus lainnya di DPP, sehingga tidak diketahui persis apakah partai besutan SBY ini tetap di dalam koalisi ini atau pergi.
Akankah koalisi ini tetap permanen pasca-pengumuman hasil pilpres? Bila pemenangnya adalah Prabowo-Hatta maka dipastikan koalisi ini akan terus langgeng dan permanen, baik di eksekutif (pemerintahan) maupun di legislatif (DPR). Namun, sebaliknya, bila pasangan cap res-cawapres ini kalah, bukan tidak mungkin koalisi ini pun akan seumur jagung saja. Politikus PBB, Yusril Ihza Mahendra, melalui akun twiternya mengatakan bisa jadi koalisi permanen ini hanya akan menyisakan Gerindra dan PAN bila yang menang pilpres adalah pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.
"Kemungkinan tinggal Gerindra dan PAN saja di koalisi tersebut sangat mung kin terjadi," kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), Maswadi Rauf, dalam perbincangan dengan Republika, Kamis (17/7).
"Sekarang saja elite-elite Golkar mulai mempermasa lah kan koalisi per manen yang ikut diteken oleh ketua umumnya (Aburizal Bakrie, —Red.). Menurut saya hal ini juga akan dilihat oleh partai-partai lain di koalisi tersebut."
Tanda-tanda perbedaan pendapat di elite Golkar dalam menyikapi bergabung nya partai penguasa di era Orde Baru ini ke koalisi permanen mulai tampak. Wakil Ketua Umum Golkar Agung Laksono menyebutkan tanda tangan Aburizal dalam naskah koalisi permanen tersebut bukanlah sikap resmi partai. Dia berpan dangan, koalisi yang dijalin dengan par tai-partai pengusung Prabowo-Hatta hanya sebatas dalam pencapresan. Dise butnya, bergabungnya Golkar ke koalisi baru sangat terbuka.
Tidak cuma itu, kemungkinan rontok nya dukungan Golkar dalam koalisi permanen juga sangat mungkin terjadi dengan kian derasnya "angin" yang ingin menggoyang kursi Aburizal sebagai ketua umum.
Sejumlah elite senior Golkar be be rapa hari lalu sudah merapatkan baris an untuk mendesak digelarnya musya warah nasional luar biasa (munaslub) yang agenda utamanya adalah mengganti ketua umum. Bila pada akhirnya pa sangan Prabowo-Hatta kalah, maka desakan untuk mengganti ketua umum semakin terbuka lebar.
Sejak Pemilu 2004, pergantian ketua umum di tubuh Golkar sudah menjadi kebiasaan. Ini seiring dengan sikap politik partai yang selalu ingin berada di dalam pemerintahan. Maka ketika capres Golkar, Wiranto, kalah dalam Pilpres 2004 muncullah Jusuf Kalla (JK) yang juga kader Golkar dan menjadi wapres terpilih saat itu, menggusur posisi Akbar Tanjung sebagai ketua umum. Kemudian, pasca-Pilpres 2009, JK yang kalah dalam pencapresan langsung digantikan oleh Aburizal yang saat itu merapat ke kubu SBY-Boediono.
Akankah nasib serupa akan dialami Aburizal usai pengumuman pemenang pilpres? Ini sangat tergantung pada figur capres-cawapres terpilih. Kalau Prabo wo-Hatta yang menang maka dapat di bilang posisi Aburizal di kursi ketua umum Golkar bakal aman-aman saja. Tapi sebaliknya, bila yang menang adalah Jokowi-JK. Seandainya Aburizal terhem pas dari kursi ketua umum, maka akan sangat mungkin koalisi permanen "Merah Putih" akan kehillangan salah satu pen dukungnya yang memiliki kursi sig nifikan di DPR.
Tidak hanya dari Golkar, dukungan PPP kepada koalisi permanen ini juga bisa luntur bila Jokowi-JK menjadi pemenang pilpres. Sekarang ini saja salah seorang tokoh partai, Suharso Monoarfa, mulai mempertanyakan keputusan Sur ya dharma Ali yang ikut menandatangani koalisi permanen. Menurutnya, keputus an ketua umum dan sekjen terkait du kungan kepada koalisi permanen tidak menjadi keputusan Rapimnas PPP bebe rapa waktu lalu. Yang ada, kata dia, hanyalah soal dukungan pencapresan terhadap Prabowo.
Selain itu, Suryadharma juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dana haji di kementerian agama. Sangat mungkin sekali para elite "partai Ka’bah" ini mendesak dila kukannya muktamar untuk menggan tikan Suryaharma, bila Jokowi-JK men jadi pemenang pilpres. Itu berarti, sangat terbuka juga peluang untuk berkoalisi dengan pemerintahan Jokowi-JK. Apa lagi, bagi PPP berkoalisi dengan PDI Per juangan juga sudah pernah mereka la kukan ketika Hamzah Haz menjadi wakil presiden saat Megawati Soekarnoputri menjadi presiden.
Bukan jaminan
Demokrat juga bukan jaminan koalisi Merah Putih bakal permanen. Partai yang baru beberapa hari menjelang pilpres menyatakan dukungannya secara resmi ke pasangan Prabowo-Hatta ini tidak mengirimkan delegasinya setingkat ketua umum atau sekjen partai di deklarasi koalisi permanen. Yang tampak hadir hanyalah Ketua DPW Demokrat DKI, Nachrawi Ramli.
Sejauh ini belum ada keterangan resmi dari ketua umum/ketua harian/sekjen Demokrat terkait absennya mereka di deklarasi koalisi permanen. Apakah ini indikasi Demokrat tidak bersikap terhadap ajakan memerma nenkan koalisi? Hanya SBY dan sege lintir elite Demokrat yang tahu.
Akan halnya PKS, partai ini sejatinya juga belum pernah berada di luar pemerintahan pada era pilpres langsung oleh rakyat. Pada 2004 dan 2009 mereka selalu berada dalam pemerintahan dua periode SBY dan mendapat "jatah" menteri di kabinet. Mereka juga belum pernah berada dalam satu koalisi sebe lumnya dengan Gerindra kecuali dalam pengusungan Prabowo-Hatta sebagai capres-cawapres.
Dalam koalisi pemerin tahan SBY, wakil-wakil PKS di parlemen pun kerap berseberangan pandangan dengan pemerintah. Hal ini mungkin juga akan menjadi problem tersendiri bagi koalisi permanen pimpinan Gerindra dan PAN, kelak bila mereka tetap berada dalam satu barisan koalisi.
Koalisi permanen Merah Putih tetap saja rentan untuk menjadi tidak per manen. Bagaimanapun dalam ranah politik tak ada sesuatu yang permanen. Sebaliknya, yang ada adalah kepentingan yang permanen. Ketika partai-partai tidak melihat ada kepentingan baginya untuk berkoalisi lagi, maka sesuatu yang permanen itu bisa luruh dengan sendirinya.
"Mereka yang tergabung dalam koalisi Merah Putih itu sebenarnya hanya show of force saja dengan deklarasi koalisi permanennya. Ini hanya dalam rangka mengusung Prabowo-Hatta menjadi RI-1 dan RI-2," kata Maswadi. "Hanya lips service saja, tidak dalam bentuk koalisi sungguh-sungguh. Ini hanya cara untuk penguatan mereka menjelang tanggal 22 Juli (pengumuman pilpres oleh KPU, —Red)," tambahnya.
Tapi, ceritanya tentu akan lain bila yang menang adalah Prabowo-Hatta. Koalisi merah Putih dipastikan akan permanen karena partai-partai di dalamnya memiliki kepentingan terhadap kekuasaan.