Dua atau tiga dekade lalu, ba rang kali belum terbayang kan kalau perekonomian dunia ba kal seriuh sekarang. Angin perdagangan bebas yang berhembus ke segala penjuru dunia menghadirkan banyak perubahan ke arah lebih baik. Tapi tak sedikit pula yang mengkhawatirkan dampak negatifnya, terutama di ne garanegara berkembang dan negara miskin.
Guna meminimalkan dampak ne gatif itulah dibentuk beragam ke se pakatan perdagangan antarnegara. Me lalui kesepakatan-kesepakatan se perti itu negara berkembang, negara miskin, dan negara maju, bisa duduk bersama mencari jalan tengah yang memberikan keuntungan bersama. Kesepakatankesepakatan itu pula, lengkap dengan segala macam kompleksitas dan pemecahannya, yang kini ber seliweran di banyak platform media massa.
Kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas itu hadir di media massa dalam beragam bentuk akronim, se suai dengan kawasan dan atau pihakpihak yang terlibat dalam kesepakatan tersebut. Beberapa contoh seperti akronim AFTA untuk ASEAN Free Tra de Area, CEFTA untuk Central Euro pean Free Trade Agreement, MERCOSUR untuk Southern Common Market, TPP untuk Trans-Pacific Strategic Economic Partnership, dan masih ada puluhan, bahkan mungkin ratusan akronim sejenis.
Itu baru bicara kesepakatan perdagangan bebas dengan pembatasan kawasan. Belum lagi akronim-akro nim teknis di dalam akronim berda sarkan kawasan tadi. Misalnya COO (certificate of origin), GSP (Generalized System of Prefe rences), MAI (multilateral agreement on investment), TRIMS (Agree ment on Trade-Related Investment Mea su res), TRIPS (Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual), MFN (mostfavored nation), MRA (mutual recognition agreement), dan masih banyak lagi.
Semua akronim-akronim tadi, isi dan tujuannya tak lain mencapai kesetaraan dalam praktik perdagangan internasional, sehingga tidak meru gikan bagi negara-negara peserta kesepakatan. Namun, dalam perja lanannya, perbedaan-perbedaan tajam antarnegara terkait justru lebih sering muncul ke permukaan. Sehingga kese pakatan yang diinginkan jadi sulit tercapai. Perbedaan yang didasari perbedaan kepentingan masing-ma sing negara, tak jarang juga menjadi penyebab pencapaian kesepakatan molor bertahun-tahun.
Ratusan bahkan ribuan kali per undingan dan negosiasi dilakukan, ke sepakatan tetap belum tercapai. Di sisi lain, publik yang terlanjur berharap mendapat manfaat dari implementasi riil ratusan akronim tadi, seperti tak punya pilihan kecuali menunggu dan menunggu. Begitu lamanya menunggu, tahun demi tahun bersamaan dengan digelarnya perundingan dan negosiasi, yang muncul justru kecemasan. Cemas kalau perundingan bertahun-tahun tak menghasilkan kesetaraan perdagangan dunia, seperti yang dicita-citakan dan termaktub dalam akronim-akronim tadi. Alhasil, bayangan manfaat perdagangan bebas yang kerap digembargemborkan perlahan menipis.
Negara-negara maju yang diharapkan ‘membantu’ negara berkembang dan negara miskin dengan cara berse pakat melonggarkan persyaratan dalam perdagangan bebas, ternyata belum seperti yang diharapkan. Tanpa ‘bantuan’ negara maju, sulit rasanya akronim-akronim tadi terealisasi dalam bentuk kesetaraan dalam perdagangan bebas. Dan akronimakronim tadi, tak ubahnya semangkuk sup hambar yang disajikan di meja perundingan. ed:Agung P Vazza