Oleh: Nurul S Hamami -- Dalam kadar yang lebih rendah, pertarungan partai politik (parpol) pengusung Prabowo- Hatta terhadap rivalnya, parpol pengusung Jokowi-JK agaknya belum selesai. Kini me reka melanjutkannya di DPR. Itulah yang mencuat dalam penyikapan terhadap Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sedang digodok oleh pemerintah dan DPR.
Parpol-parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih yang mendukung pencapresan Prabowo-Hatta semuanya menolak kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, dipilih langsung oleh rakyat. Sebaliknya, mereka mengusulkan agar pemilihan dilakukan oleh DPRD. Parpol-parpol tersebut yakni Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP, PAN, dan PKS. Padahal, dalam pembahasan sebelum pilpres sebagian besar partai itu menolak pilkada oleh DPRD yang awal nya diusulkan oleh pemerintah.
Foto:aditya perdana putra
Pihak pemerintah sendiri dapat di ka takan sudah "menyerah" dengan keingin an mayoritas partai di DPR yang kuat mempertahankan pilkada langsung dalam pembahasan-pembahasan sebelum nya. Dalam pembacaan pandangan terha dap RUU tersebut, Selasa (9/9), peme rintah setuju pilkada langsung oleh rakyat tetap dipertahankan sebagaimana di atur dalam UU lama. Sikap serupa pemerintah juga dipegang oleh PDIP, PKB, dan Hanura yang dalam pilpres lalu berada di belakang pengusungan Jokowi- JK. Sedangkan DPD setuju pemilihan gubernur langsung, namun pemilihan bupati/wali kota melalui DPRD.
Pemerintah merupakan pihak yang mengusulkan pilkada dilakukan melalui pemilihan di DPRD. Awalnya, pemerin tah menginginan pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRD sedangkan pemi lihan bupati/wali kota tetap langsung oleh rakyat. Namun, menyimak dinamika mayoritas fraksi menolak usulan tersebut sejak RUU ini dibahas pertengahan 2012, pemerintah mengubah usulan yakni gubernur dipilih langsung sementara bupati/wali kota oleh DPRD.
Pengubahan usul pemerintah tersebut kembali ditolak oleh fraksi-fraksi di DPR. Itulah yang membuat pembahasan RUU Pilkada berlarut-larut, selain memang ada sejumlah hal krusial lainnya seperti soaal kekerabatan politik. Akhirnya, se ba gaimana dinyatakan dalam pan dangan sikap pada Selasa (9/9) itu, peme rintah setuju pilkada gubernur, bupati, dan wali kota dilakukan langsung oleh rakyat.
Setidaknya ada empat hal yang men dasari pemerintah mengusulkan peng ubahan sistem pemilihan gubernur dari langsung oleh rakyat menjadi hanya oleh DPRD, saat RUU ini diajukan ke DPR. Pertama, pemilihan gubernur oleh DPRD dapat menekan ongkos politik yang sela ma ini ditengarai sangat tinggi. Kedua, menekan praktik politik uang yang ma rak terjadi selama berlangsungnya pemi lihan kepala daerah (pilkada) sejak 2005.
Alasan ketiga, terkait dengan soal kewenangan gubernur yang tak sebesar bupati/wali kota sehingga tak harus dipilih langsung oleh rakyat. Pemerintah menilai, gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah sehingga tak memiliki kewenangan seperti halnya bupati/wali ko ta. Keempat, memudahkan dan me nye derhanakan sistem pemilihan.
Tentu saja usulan tersebut mendapat penolakan dari mayoritas fraksi di DPR. Sebab, semangat diundangkannya pemi lih an kepala daerah langsung oleh rakyat merupakan bentuk pengembalian hak politik rakyat yang sudah terpasung selama 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa sebelum akhirnya tumbang pada Mei 1998. Hal ini juga sesuai dengan sistem pemilihan langsung presiden yang sudah dimulai sejak 2004.
Kalau presiden saja dipilih oleh rak yat, mengapa kepala daerah tidak? Rak yat dipulihkan kembali hak politik nya da lam menentukan pemimpin yang mereka idamkan dan inginkan dengan pemilihan secara langsung. Ini lebih demokratis dibandingkan pemilihan oleh segelintir elite di DPRD.
Tak terbantahkan, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat memakan ongkos politik yang cukup besar. Termasuk di dalamnya adalah biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Untuk pemilihan gubernur saja, uang yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 500 miliar. Anggaran yang diperuntukkan bagi pemilihan kepala daerah ini lu mayan menyedot APBD.
Pilkada berbiaya mahal tak cuma menyedot anggaran daerah, tapi juga para kandidat yang maju bersaing untuk posisi kepala dan wakil kepala daerah. Semuanya untuk mendanai kampanye dengan segala tetek-bengeknya. Tak ayal lagi uang yang dikeluarkan para kandidat pun menjadi selangit. Ujung-ujungnya mereka mencari cara untuk mengeruk uang selama menjadi kepala/wakil kepala daerah. Korupsi pun menggejala di kalangan kepala daerah/wakilnya. Tercatat, ratusan kepala daerah/wakilnya tersangkut kasus korupsi dari dana APBD dalam sembilan tahun terakhir.
Kandidat yang kalah juga sering menyisakan masalah. Mereka seakan tidak memiliki mental untuk kalah. Dek larasi "siap menang, siap kalah" tak lebih se buah pemanis bibir saja. Kondisinya ti dak sesuai dengan yang diucapkan. Tak jarang kandidat yang kalah malah men cari-cari alasan untuk tidak mengakui kemenangan calon lainnya. Akibatnya, tak jarang pula terjadi konflik horisontal di antara para pendukung masing-masing calon. Inilah yang juga menjadi salah satu alasan pemerintah mengusulkan pilkada lewat DPRD saja yang juga tidak di terima oleh mayoritas fraksi. Tapi, justru alasan ini juga digunakan oleh fraksifraksi yang kini "balik badan" menolak pilkada langsung.
Hak rakyat
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, dalam suatu ke sem patan berbincang dengan wartawan ketika isu pilkada gubernur diusulkan kembali ke DPRD oleh pemerintah dua tahun lalu, menyatakan ketidakse tujuan nya. Menurut dia, hak memilih pemimpin oleh rakyatnya merupakan esensi demok rasi yang tidak boleh dicabut kembali oleh siapa pun, termasuk pemerintah.
Irman mengingatkan, legitimasi pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat jauh lebih kuat dibanding pemimpin pilihan elite partai. Kalau pertimbangan pemerintah adalah biaya penyelenggara an pilkada yang terlampau tinggi, maka dia menyarankan pilkada secara serem pak sebagai solusi mengurangi biaya tinggi. Dalam pembacaan pandangan Selasa (9/9) lalu, pemerintah dan seluruh fraksi serta DPD setuju pilkada serempak pada 2015 dan 2018 –kecuali FPDIP dan FPPP yang mengusulkan serempak 2015, 2018, dan 2019.
Ada sikap kontras yang ditunjukkan oleh fraksi Koalisi Merah Putih dalam hal pilkada serentak tersebut. Kalau mereka mengusulkan pilkada melalui DPRD tentu saja tak perlu dilakukan serempak karena sudah menghemat anggaran dan tidak melibatkan rakyat. Alur berpikir nya semestinya mereka menolak pilkada serempak karena tidak "mengganggu" keuangan pemerintah daerah maupun pusat. Justru pilkada serempak merupa kan solusi bagi pilkada langsung yang berbiaya tinggi. Mungkin fraksi-fraksi itu lupa bahwa mereka sudah tidak men dukung pilkada langsung.
Pernyataan tidak setuju terhadap pemilihan gubernur melalui DPRD kala itu juga ditegaskan oleh Wakil Ketua DPD, La Ode Ida. Dia menilai, usulan pe merintah tersebut menunjukkan cara berpikir yang dangkal. Penghapusan pemilihan gubernur langsung oleh rakyat menjadi oleh DPRD, menurut La Ode, merupakan langkah mundur bagi kehi dupan demokrasi.
La Ode menegaskan, pemilihan gubernur yang dikembalikan kepada DPRD dengan alasan menghemat biaya yang tinggi, tidak dapat dibenarkan. Dia menilai, tak ada yang dirugikan dengan model pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat.
Dalih anggaran yang besar dalam pelaksanaan pemilihan secara langsung juga disanggah oleh Wakil Ketua DPR saat itu, Anis Matta. Menurut politikus PKS ini, anggaran pilkada langsung tidak terlalu besar. Dana terbesar dalam ang garan justru untuk gaji pegawai yang men capai 60 persen dari alokasi. Seperti La Ode, Anis juga berpendapat mengem balikan pemilihan gubernur kepada DPRD adalah langkah mundur sekaligus upaya resentralisasi.
Anis saat itu juga tidak bisa menerima alasan konflik horisontal antarpendu kung calon kepala daerah dan wakilnya dapat ditekan dengan pengubahan pemilihan langsung menjadi pemilihan oleh DPRD. Menurutnya, konflik sosial karena pemilu kepala daerah angkanya tidak signifikan.
PKS pun sampai rapat konsinyering pembahasan RUU Pilkada di Kopo, Bo gor, 1-2 September lalu masih bersikap bahwasannya pilkada di semua level dipilih langsung oleh rakyat.
Namun, sikap itu berubah setelah kepulangan ang gota fraksi PKS dari Bogor. Melalui Ketua Fraksi PKS di DPR, Hidayat Nur Wahid, PKS menyatakan satu pandangan dengan koalisi Merah Putih mendukung pilkada melalui DPRD di semua ting katan. Adakah perubahan sikap ini kare na solidaritas terhadap koalisi Merah Pu tih? Padahal, PKS sejak awal pem ba has an RUU ini dua tahun lalu kukuh bersi kap pilkada harus langsung oleh rakyat.
Para wakil rakyat semestinya menya dari, semangat yang melandasi di undang kannya pemilihan kepala daerah lang sung oleh rakyat adalah me ngem balikan kedaulatan rakyat yang menjadi esensi demokrasi. Di sini rakyat benarbenar dilibatkan dalam menentukan dan memilih pemimpin mereka. Partispasi politik masyarakat dibuka seluas-luasnya dengan pemilihan langsung ini. Selain juga memang untuk menghapus politik dagang sapi ketika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD pada masamasa awal reformasi.
Kekurangan memang terjadi di sanasini dalam pelaksanaan pilkada se cara langsung dalam sembilan tahun terakhir. Tapi, bukan berarti segala ke kurangan yang muncul menjadi alat pembenaran untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kembali ke tangan DPRD. Hal ter penting yang harus dila kukan adalah dengan memperbaiki ke kurangan-ke kurangan yang ada sehing ga pelaksa naannya menjadi lebih baik.
Perbaikan ke arah kehidupan demokrasi yang lebih maju di negara ini me mang tidak secepat membalikkan telapak tangan. Sembilan tahun tentu bukan waktu yang cukup untuk melihat hasil pemilihan kepala daerah secara langsung berjalan baik dan sesuai harap an. Lebih utamanya lagi, kepentingan politik jangka pendek hanya untuk merebut kekuasaan harus dihindari. Jangan sekali-sekali mengorbankan hak politik rakyat. Rakyat juga bisa marah.