Siapa tidak mengenal Tanah Abang? Pusat grosir pakaian dan garmen terbesar di Asia Tenggara ini selalu kebanjiran pembeli, baik pada hari biasa maupun menjelang hari raya. Selain dipadati penjual dan pembeli, Tanah Abang juga menjadi ladang rezeki bagi para kuli angkut atau porter.
Mayoritas porter dan mandor di Tanah Abang berasal dari wilayah Banten. Di Blok A, terdapat enam orang mandor. Masing-masing mandor membawahi sekitar seratus orang porter. Tiap mandor menyediakan seragam untuk porter yang berbeda warna.
Seorang mandor yang berhasil ditemui adalah Uus (32 tahun). Uus adalah sosok berwajah bersih dan murah senyum. Dengan tampilan yang rapi, tidak akan ada yang menyangka bahwa Uus dulunya adalah seorang kuli.
Ia dulunya adalah kuli bongkar muat biasa yang dipekerjakan pengelola Tanah Abang lewat Perusahaan Bongkar Muat (PBM) yang berkantor di Kampung Bali. Setelah sepuluh tahun bekerja, akhirnya Uus naik pangkat menjadi seorang mandor. Tak banyak kewajiban mandor selain berkeliling mengawasi kinerja anak buahnya.
Syarat untuk menjadi porter, kata dia, hanya menyerahkan fotokopi KTP dan fotokopi Kartu Keluarga. Di samping itu, calon porter harus membayar sejumlah uang untuk memperoleh seragam. Ketika ditanya berapa besaran uang yang dibayar, Uus menjawab, "Ya seikhlasnya ajalah buat saling pengertian aja." Didesak untuk menyebutkan angka pasti, Uus menyebut Rp 100 ribu adalah nominal maksimal yang harus dibayar calon porter.
Orang yang mendaftar menjadi porter akan menerima dua buah kaus sebagai tanda identitas. Warna dan nomor kaus menunjukkan di blok mana dan di bawah mandor siapa ia bekerja. Sebagai seorang mandor, Uus menerima setoran dari para porter sebesar Rp 3.000 per hari. Uang-uang setoran itulah yang menjadi sumber penghasilan mandor karena mereka tidak digaji, baik dari pengelola pasar maupun dari pihak PBM.
"Maksimal porter adalah 100 orang tiap mandor," jelasnya. Ini dikarenakan kaus yang diberikan pihak pengelola gedung terbatas. Mandor diizinkan mencetak kaus sendiri jika pengelola kehabisan kaus, sementara kaus yang dipakai porter sudah rusak dan minta diganti. Uus memegang kendali para porter berkaus biru bernomor punggung 1-100. Para mandor itu di bawah pengawasan koordinator porter dan komandan regu (danru) dari pihak manajemen gedung.
Mandor lain bernama Juen (37) memiliki penampilan tak jauh beda dengan Uus. Sosoknya yang mirip keturunan Cina membuat orang mengira bahwa dia adalah juragan salah satu kios di Tanah Abang. Selain sebagai mandor, Juen memiliki sampingan sebagai perantara dagangan baju-baju dari Tanah Abang. Ia menyetor baju dari Tanah Abang ke daerah-daerah, seperti Surabaya, Makasar, dan Kalimantan.
Dia memiliki 100 orang porter. "Yang aktif hari biasa cuma 40 orang. Besok kalau sudah ramai menjelang Lebaran biasanya baru aktif semua," kata Juen. Karier Juen sebagai mandor diawali dari pekerja bongkar muat di Tanah Abang. Melihat keadaan pasar yang semakin ramai, diperlukan seorang yang mampu mengkoordinasi kerja porter. Atas usulan dari teman-teman sesama porter, akhirnya Juen diangkat menjadi mandor.
Para mandor setiap minggu menyisihkan Rp 80 ribu untuk diberikan ke PBM di Kampung Bali. Juen mengungkapkan, tidak semua porter yang bekerja di Tanah Abang adalah orang yang bisa dipercaya. Kasus penyelewengan barang oleh porter pun pernah terjadi. Beruntung, ketika mendaftar, para porter diharuskan menyerahkan kartu identitas, sehingga keberadaa para porter nakal dapat segera dilacak.
rep:c88 ed: dewi mardiani