Seorang wanita muda berkerudung berdiri mematung di depan sebuah poster bernuansa hitam putih. Ditempel di atas dinding kaca, poster tersebut menampilkan deret kalimat yang sengaja dicetak saling tumpuk. Butuh kejelian untuk sedikit membaca kalimat yang tertera di atasnya, "KPP HAM. Pam Swakarsa. Timor Timur."
Terputus putus, kata-kata tersebut terselip di antara tumpukan deret huruf berwarna hitam di atas kertas putih berukuran A2. "Samar saya bisa menangkap maksud poster ini," kata wanita itu sambil menunjuk sebuah kata yang dicetak dengan huruf tebal, "Fakta Politik".
Di bagian bawah poster tampil sebuah foto hitam putih tentang demonstrasi. Tergambar sebuah tank polisi yang diserbu sekelompok orang yang mengepalkan tangan mereka ke atas. Sekilas maksud karya tersebut jelas, mengingatkan kita akan masa lalu bangsa ini yang sempat buram dan bernuansa merah darah. Namun, bisa jadi orang lain menginterpretasikan berbeda. Karya tersebut berjudul "Frekuensi Pembebasan" karya seorang seniman muda berbakat, Asep Topan.
Bila di negeri lain mempunyai Ben Shahn, Diego Rivera, ataupun Kathe Kollwitz sebagai seniman yang menuangkan kegelisahan sosial ke dalam karya seni, bisa dikatakan bahwa di Indonesia ada Asep Topan. Politik dalam seni sendiri bukanlah hal yang baru. Bahkan, ketika Michelangelo melukis langit-langit gereja Sistine di Vatikan atau bangsa Eropa yang menyulap dekorasi masjid Cordoba menjadi sebuah gereja. Karya seni terkadang tak lepas dari fenomena politik di sekitar sang seniman.
Dalam pamerannya yang berlangsung di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki dari 3 - 11 Juli ini, Asep mencoba menampilkan karya-karyanya yang diangkat dari fenomena politik di negeri ini. Pameran tunggal yang didukung penuh oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini memamerkan sebuah karya artistik yang diciptakan dari gabungan teknik visual modern dan manual. Tak tanggung-tanggung, Asep bahkan masih memanfaatkan metode sablon dalam pembuatan karyanya.
Memasuki ruang pameran, pengunjung disuguhi deretan karya yang dicetak di atas kertas berukuran A3 sampai A2. Ditempelkan berjejer di dinding ruang pameran berukuran 10 x 15 meter, para pengunjung dengan khidmat dapat berdiri di depan karya untuk sekadar berkontemplasi akan makna dari karya seni abstrak tersebut.
Berjalan menuju lantai dua pameran, topik yang diusung Asep terlihat semakin tegas. Bila tadi di lantai satu pengunjung masih terbantu dengan kata-kata di atas karya, kini di lantai dua penikmat seni disuguhkan deret gambar citra dari sebuah televisi tak berantena. Tentu kita masih ingat bagaimana televisi di rumah kita bila tidak menerima sinyal apa pun, akan muncul tampilan "semut" di layar. Oleh Asep, tampilan itu disulap menjadi sebuah instalasi seni unik.
Sebuah karya lain, yang berjudul "Random Access Memory" bahkan dibuat dari sebuah foto kampanye caleg pada pemilihan caleg April lalu. Asep dengan cerdas memproses sebuah foto yang diambil di jalan hanya dengan kamera ponselnya menjadi sebuah karya grafis.
Siapa yang menyangka sebuah gambar piksel foto yang diperbesar itu, ternyata berasal dari wajah salah seorang caleg yang ikut meramaikan pesta demokrasi. Lantas mengapa foto sang caleg diperbesar seratus kali dan Asep jadikan sebuah karya? Dalam pengantar pameran, Asep sempat berujar, "Gambar caleg dan partai politik hanyalah sampah digital. Poster-poster itu menuhin tembok. Jadi, saya manfaatkan sebagai media seni," ujar Asep.
Nyaris seluruh karya yang disuguhkan Asep dalam pameran tunggal pertamanya ini memadukan dua metode yang mewakili dua zaman. Pertama adalah pemanfaatan media digital sebagai input-nya, dan teknik cetak saring (sablon) sebagai output-nya. Teknik yang diambil pemuda kelahiran Majalengka ini menandakan dia tak ingin meninggalkan tradisi cetak manual dari teknologi modern saat ini.
Malam di Cikini semakin larut. Sebagian barang dagangan penjual kacang rebus di gerbang TIM telah laris. Di ruang pameran, beberapa pengunjung tampak mengambil foto selfie sebelum beranjak ke pintu keluar. Seorang pria berbaret cokelat mengiringi kepulangan pengunjung dengan mendeklamasikan sajak Rendra, "Sebatang Lisong". Pengunjung yang tertarik turut berdiri mengelilingi sang deklamator tepat di depan pintu ruang pameran.
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
Dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
rep:c85 ed: dewi mardiani