"Langgengmu adalah harapanku, lestarimu adalah tanggung jawabku!"
Kalimat itu diteriakkan sekelompok orang di belakang panggung. Penonton yang duduk di baris depan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) terhenyak sesaat. Gelombang ketertarikan mengaliri para penonton. Tertarik lantaran mereka akan menyaksikan sebuah pertunjukan kolosal yang disebutkan tak biasa di GKJ pada akhir pekan lalu.
Konon, pertunjukan kali ini dimainkan para remaja. Apatisme anak muda akan budaya dan tradisi tertepis sudah. Panggung besar Schouwburg Weltevreden, nama lama Gedung Kesenian Jakarta, adalah saksinya.
Layar merah perlahan terbuka. Menandakan, pertunjukan akan segera dimulai. Lampu teater yang bergaya kolonial ini mulai dimatikan. Lampu menyoroti satu sosok yang muncul di atas panggung. Duduk di atas sebuah singgana emas, dua taring menyembul dari mulutnya. Dialah Prabu Kongsodewo.
Sang Prabu digambarkan tengah bermimpi sedang memadu kasih dengan Endang Brotojoyo, seorang gadis desa di tanah Widoro Kandang. Para penari lantas masuk ke tengah panggung. Dengan gemulai, mereka menari, mengiringi Prabu Kongsodewo dan si gadis Brotojoyo tengah bermesraan.
Namun, itu hanya mimpi. Semuanya lantas buyar. Penari kolosal yang berjumlah belasan, menepi ke samping panggung dan menghilang. Layar kembali tertutup. Gending lalu mengalun kembali. Kali ini, lebih cepat dan terdengar begitu bersemangat. Di bawah sorot lampu terlihat gerombolan prajurit yang masuk ke atas panggung diiringi nyanyian syair dari pesinden.
Layar panggung kembali terbuka. Di atasnya, dekorasi megah laiknya sebuah takhta di istana kerajaan memanjakan mata penonton. Prabu Kongsodewo tampak di panggung, diceritakan tengah memerintahkan jajaran dan prajurit raksasanya untuk menemukan gadis desa bernama Endang Brotojoyo yang akan dijadikan permaisuri Prabu Kongsodewo. Lantas, semua prajurit bersiap untuk melaksanakan tugas.
Adegan selanjutnya, set panggung telah berganti. Kali ini, dikisahkan Endang Brotojoyo dan Larasati, diiringi para pelayan sedang bersenda gurau. Jangan bayangkan mereka melakukan senda gurau betulan. Mereka melakukannya dengan beradegan menari bersama. Memainkan jarinya yang lentik, sembari sesekali meliukkan kepala dan pinggul. Apik sekali.
Lalu, seketika muncullah prajurit raksasa, mengejar Brotojoyo. Sang raksasa mengejar Brotojoyo yang diincar tuannya. Tapi, dengan kesaktian Ilmu Kemayan (sirep), Brotojoyo berhasil meloloskan diri dari kepungan raksasa dan meninggalkan padepokan bersama Nyai Sagopi dan Larasati.
Penonton semakin tertarik dengan lanjutan jalan cerita. Beberapa orang tampak membaca-baca buku panduan untuk menyelami cerita lebih dalam. Sepanjang cerita, para pemain berbicara dalam bahasa Jawa halus, kromo inggil, khas bahasa pewayangan.
Di panggung, muncullah sosok yang dinantikan: Punokawan. Berbaris, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong memasuki panggung. Semar sang ayah berjalan dengan membungkuk dengan gaya yang kocak. Apalagi, dengan pantatnya yang besar seolah diberi bantal tambahan.
Penampilan mereka terbukti menghibur para penonton. Bila sejak awal penonton disuguhi alur cerita yang serius, kini pikiran penonton diajak bersantai sejenak. Menikmati lawakan para Punokawan. "Ooo.. Lae.. Lae…" ujar Semar setiap kali berbicara. Sontak tawa penonton pecah tiap kali Semar bertingkah lucu.
Adegan selanjutnya, muncul Raden Permadi yang mengatakan mimpinya kepada Punokawan. Lalu, datang pulalah Nyai Sagopi, Brotojoyo, dan Larasati. Mereka meminta pertolongan Permadi dari kejaran raksasa. Permadi lantas menyanggupi dan akan menghadapi sendiri para raksasa itu. Raksasa pun datang dengan beringas menyerang karena Permadi menghalangi niatnya. Terjadilah pertempuran hebat.
Kilasan cerita tadi adalah rangkaian pementasan Wayang Orang Remaja. Lakon itu dimainkan seluruhnya oleh remaja dan pemuda. Bahkan, sebagian masih duduk di bangku sekolah. Pementasan tersebut sukses membuat penonton berdiri di akhir pertunjukan untuk memberikan tepuk tangan penghargaan.
Dalam pementasan terbaru mereka bertajuk "Kongso Adu Jago", Wayang Orang Bharata berusaha menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka masih ada, sekaligus akan terus ada.
Kepada Republika, Nugroho Aprihadi sang sutradara, mengakui, ada kesulitan untuk mengarahkan para remaja pemain wayang ini. "Salah satu tantangannya adalah bagaimana melatih para anak muda Jakarta yang sehari-hari berbicara bahasa Indonesia, bergaul ala Ibu Kota, harus berbicara bahasa pewayangan yang tinggi, menari, nembang, dan menyatukan hati dengan ruh budaya Jawa," katanya.
Para remaja itu berupaya untuk melestarikan seni budaya yang diusung para pendahulu mereka. Penegasan niat mulia mereka diteriakkan lantang dalam penutupan acara, "Langgengmu adalah harapanku, lestarimu adalah tanggung jawabku!" rep:c85 ed: dewi mardiani