Seorang teman menulis di status Facebook-nya, memberikan kesaksian betapa gersang dan panasnya wilayah pantura di Jawa Barat. Hal itu berbeda dengan pantura di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia merasakannya selama mudik ke Jawa Timur, ke rumah mertuanya, menggunakan kendaraan pribadi.
‘’Maaf banget Ustaz Aher, wilayah Anda di kawasan Pantura ini begitu gersang, panas, berdebu, kotor, tidak ada pohon, apalagi bunga-bunga yang menawan hati,’’ tulis teman itu. ‘’Benar-benar tidak menarik dan membosankan,’’ lanjut teman yang ber-KTP Depok itu, yang juga menyebut pantura Jabar berasa berdebunya saat ia mudik kemarin.
Foto:Raisan Al Farisi/Republika
Jalur Pantura
Pantura menjadi jalur utama bagi sebagian besar pemudik. Lainnya memilih jalur, laut, jalur selatan, dan kereta api, dan sedikit jalur udara. Di masa lalu, seorang Tillema menyarankan perlunya penyiraman jalan Daendels itu sebagai bentuk perawatan, sebagaimana merawat manusia.
Tillema adalah ahli farmasi, tapi ia mengakui, penyiraman jalan akan membuat jalan menjadi lembek. Karena itulah, Tillema juga menyarankan agar jalanan dilapisi papan kayu, seperti yang pernah dicoba di Paris. Ia pun juga menyarankan penggunakan bahan perekat untuk memadatkan permukaan jalan. Digunakanlah sirup dari hasil pengolahan gula dicampur dengan kapur dan air.
Ia juga menyarankan pemanfaatan sepatu bekas para serdadu yang dijadikan bubuk, kemudian dicampur dengan batu dan aspal. Lima puluh tujuh ribu pasang sepatu, menurut Tillema, seperti dikutip Rudolf Mrazek di Engineers of Happy Land, bisa memadatkan satu kilometer jalan Daendels.
John Joseph Stockdale (1770-1847) memberi kesaksian sedikitnya pohon di pantura yang terlihat dari laut dalam bukunya Island of Java, yang bercerita tentang kondisi Jawa sebelum 1806. Ia melakukan perjalanan laut dari Batavia ke Semarang, ketika Daendels belum membuka jalan pantura. Ia adalah anak laki-laki John Stockdale, penerbit di London.
Meski terlihat sedikit pohon, sepertinya pemandangan tetap mengasyikkan. Setidaknya demikianlah gambaran yang diberikan oleh HW Ponder dalam bukunya Java Pigeant tentang pantura pada 1930-an. Ia menggambarkannya sebagai hamparan panorama yang tak tertandingi.
Hamparan sawah dengan padinya, hijau kebun singkong, hijau pohon-pohon randu dengan putih kapuknya yang tampak seperti salju, hijau kebun tembakau, hijau kebun jagung, perkebunan karet yang teduh, dan sebagainya. Tapi, Ponder tidak memerinci di wilayah mana saja panorama indah itu selain hanya mengatakan dari ujung jalan yang satu hingga ujung lainnya yang Anda lewati.
Setelah jalur pantura dibuka Daendels itu, orang bepergian dari Batavia ke Surabaya menggunakan kereta kuda. Perjalanan bisa ditempuh selama enam hari. Sebelum ada jalan ini, perjalanan bisa mencapai enam minggu, tentu saja termasuk adanya hambatan berupa kerusakan dan longsor dan singgah di peristirahatan. Ada 12 lokasi penginapan yang bagus yang menyediakan 6-8 kamar beserta kandang kuda dan kakus.
Sekarang, pom bensin dan beberapa masjid menjadi tempat peristirahatan favorit mayoritas pemudik daripada harus menyewa penginapan. Di saat banyak masjid yang tutup, pom bensin menjadi pilihan menyenangkan sebagai tempat tidak hanya untuk mengisi bensin, melainkan juga untuk mampir kencing, mampir tidur, ataupun sekadar mampir makan mi instan.
Penumpang kereta kuda dikenai biaya sekitar lima stuiver per pal (20 stuiver setara dengan satu gulden). Satu pal sekitar 1.500 meter. Jika menggunakan kuda alus, harga sewanya menjadi 10 stuiver (setengah gulden) per pal. Jika mau ditumpangi sendirian, kereta empat kuda itu biaya sewanya naik dari lima stuiver per pal menjadi 16 stuiver per pal.
Untuk kuda alus, kuda yang lajunya baik, harga sewanya beda. Setengah gulden per pal. Sedangkan, kuda biasa untuk hamba sahaya, yang biasa disebut kuda gladag, biaya sewanya 4,5 stuiver per tiga pal.
Calon penumpang tentu saja diseleksi untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Orang yang jahat tak bakal diterima sebagai penumpang. Penumpang ditetapkan harus berasal dari kelas tertentu yang memiliki gaya tertentu, kualitas, dan kondisi yang baik. rep:priantono oemar ed: dewi mardiani