"Sangnging karaeng mammempo. Sangnging daeng ma jajareng. Tabe karaeng, La makkelongi ataya." (Para bangsawan bersila. Para daeng duduk rapi. Maaf tuanku, hambalah akan bernyanyi).
Lelaki itu tetap memainkan kesoq-kesoq, alat musik gesek serupa rebab, ketika mengucapkan kalimat dalam bahasa Bugis di atas. Matanya terpejam sambil melakukan Sinrili', sebuah seni bertutur dalam budaya Bugis.
"Setelah ini, kita akan menyaksikan sebuah penampilan luar biasa. Penampilan seni dari Sulawesi. Tarian beriring musik yang indah," ucap lelaki itu sambil terus menggesekkan kesoq-kesoq miliknya. Dia duduk bersila di atas panggung, berbalut pakaian adat Bugis, lengkap dengan passapu, penutup kepala khas tanah Bugis.
Teater Galeri Indonesia Kaya pun hening. "Yak, kita sambut tarian palita!" teriak lelaki itu memecah sunyi. Musik mengalun kembali, kali ini lengkap dengan iringan suling calabai yang suaranya melengking bak musik India.
Lantas dari kiri panggung masuklah tiga orang penari wanita. Masing-masing mengenakan kostum tradisional Bugis, baju bodo. Warna merah menyala menambah apik penampilan mereka. "Tari palita mengisahkan tentang ketabahan dan kesetiaan para perempuan yang ditinggal merantau atau berlayar oleh suami, anak, maupun saudara-saudara lelakinya," jelas lelaki pemain kesoq-kesoq masih dengan logat khas Sinrili'.
Para penari juga bermain mimik muka, ekspresi wajah. Sesuai dengan kisah yang mereka bawakan, perempuan tabah yang ditinggal merantau, wajah mereka bisa berubah dari raut sedih, kemudian menjadi gembira. Tarian ditutup dengan sebuah gerakan berputar oleh masing-masing penari sambil masing-masing menyunggingkan rok mereka. Satu tangan memegang bunga yang diangkat ke atas, lantas mereka perlahan turun dari panggung. Tepuk riuh penonton menutup penampilan pertama itu.
Penampilan di atas merupakan satu dari lima tarian yang dibawakan dalam pagelaran seni bertajuk "Konser Tari Elok Sulawesiku". Bertempat di Galeri Indonesia Kaya pada Ahad (15/9), Wiwiek Sipala, seorang penari senior dari Sulawesi, mempersembahkan tarian-tarian yang ia kreasikan. Acara ini sekaligus menjadi satu dari rangkaian penampilan dalam Bulan Sulawesi yang digelar oleh Indonesia Kaya.
"Wiwiek Sipala merupakan salah satu seniman tari yang sangat concern terhadap pengembangan seni tari di Indonesia. Dengan membawakan tarian daerah dari Sulawesi Selatan. Penampilan ini sekaligus sebagai upaya pelestarian kesenian daerah, khususnya dari belahan timur Indonesia," ujar Renitasari Adrian selaku program director Indonesia Kaya.
Dalam pertunjukan "Elok Sulawesiku" yang berlangsung selama 60 menit ini, Wiwiek Sipala menyuguhkan lima tarian yang dibawakan oleh 30 orang penari yang tergabung dalam Sipala Dance Company, sebuah grup tari yang fokus pada tarian khas Sulawesi. "Saya punya harapan besar agar seni tari, terlebih dari Sulawesi, mendapat tempat di kalangan masyarakat. Selama ini, pementasan seni budaya masih fokus pada budaya Jawa dan Bali," ungkap Wiwiek.
Setiap tarian yang dibawakan dalam pertunjukan ini memiliki kisahnya masing-masing. Selain tari palita sebagai pembuka yang berkisah tentang ketabahan perempuan, ada juga tari gandrang bulo. Tarian gandrang bulo merupakan tari permainan anak-anak yang menunjukkan keceriaan dan kejenakaan.
Tarian ini sesungguhnya merupakan pertunjukan seni tari yang diiringi permainan musik gendang dan biola dari bambu. Namun, pada zaman penjajahan Jepang, kesenian rakyat ini dikembangkan dengan menambahkan dialog-dialog spontan dan gerak tubuh para penari yang kocak.
Berbeda dengan tarian etnis Bugis-Makassar lain yang berirama lambat di setiap tarinya, tari gandrang bulo justru mengedepankan gerakan tangan dan kaki dengan tempo cepat, rancak, dan energik seolah tak ada tata gerak baku. Namun, berkembangnya teknik tarian masa kini mengizinkan anak-anak turut membawakan gandrang bulo. Justru dengan dibawakan oleh anak-anak, pesan tentang ceria dan jenaka bisa tersampaikan dengan lebih baik.
Tarian selanjutnya adalah penampilan yang paling ditunggu. Tari pakarena se'reang bori, tarian yang menyuguhkan keelokan yang terlihat dari kontrasnya tempo musik yang cepat dan menderu dengan tempo tarian yang lambat. Dimainkan oleh dua orang penari senior asuhan Wiwiek Sipala, tarian dari istana Kerajaan Gowa pada pemerintahan Sultan Hassanudin abad XVI ini mencerminkan keuletan dan ketabahan masyarakat Bugis-Makassar.
Seorang pakar tari Makassar Munasih Nadjamuddin mengungkapkan, tari pakarena merupakan tari yang sarat akan makna. Tari pakarena berawal dari kisah perpisahan penghuni botting langi (negeri kayangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dahulu. Sebelum berpisah, botting langi mengajarkan kepada penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan, dan kaki.
"Memang inilah keunikan tarian pakarena. Meski lambat, menurut saya, tarian ini berbeda sama sekali dengan tari dari Jawa. Kalau tarian Sulawesi kebanyakan punya gerakan condong ke belakang tubuh, berbeda dengan tarian Jawa yang condong ke depan," jelas Wiwiek yang menjelaskan kepada penonton usai pertunjukan.
Menjelang akhir pertunjukan, Wiwiek Sipala juga mengajak penikmat seni untuk berdiskusi bersama koreografer dan penari seputar pertunjukan. Acara ditutup dengan tarian terakhir yang bernama mappadendang yang bercerita tentang ungkapan syukur kepada Tuhan dan kegembiraan atas hasil panen yang melimpah. rep:c85 ed: dewi mardiani