Sejumlah pengamat perkotaan mendiagnosis DKI Jakarta menderita penyakit kronis bernama kemacetan. Parkir liar yang sudah membudaya di masyarakat menjadi penyumbang utama kemacetan di sejumlah titik Ibu Kota.
Kepala Unit Pengelola (UP) Perparkiran DKI Jakarta Sunardi Sinaga mengatakan, budaya masyarakat yang tertib dalam memarkirkan kendaraannya menjadi salah satu unsur penting dalam menertibkan parkir liar di Jakarta. Apalagi, jika ditambah kesadaran hukum di masyarakat.
"Kita jangan pernah berpatokan jumlah petugas. Kita berpatokannya bagaimana kita mau mengubah kultur masyarakat," kata Sunardi saat ditemui Republika di kantor UP Perparkiran, Jalan Perintis Kemerdekaan No 1, Pulomas, Jakarta Timur, Kamis (2/10).
Foto:Republika/Raisan Al Farisi
Petugas dari Dinas Perhubungan melakukan penertiban sebuah mobil yang parkir sembarangan di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan, Senin (8/9).
Menurut Sunardi, parkir liar timbul karena tingginya tuntutan dari pengguna jasa parkir. Apalagi, ketersediaan lahan parkir di dalam gedung (off street) sangat terbatas. Jumlah kendaraan yang tidak seimbang dengan kapasistas parkir memaksa masyarakat memanfaatkan bahu-bahu jalan sebagai tempat parkir (parkir on street).
Sunardi berpendapat, warga kian ketagihan parkir on street karena parkir off street mematok harga selangit. Kebiasaan itu, kata Sunardi, akhirnya membentuk pola hidup di masyarakat sehingga membudaya dan sulit diubah.
"Kalau selama ini kan orang berparkir di jalan dengan Rp 2.000 bisa seharian. Itu juga yang membikin menjamurnya parkir liar," kata dia.
Saking banyaknya titik parkir liar, Sunardi mengaku sulit menunjukkan kantung-kantung parkir liar di Jakarta. Yang jelas, kata dia, parkir liar banyak terjadi di sekitar kawasan niaga, sekolah, dan sebagian pusat perkantoran. "Karena di lokasi-lokasi tersebut memiliki tuntutan (demand) yang tinggi terhadap jasa parkir," ujar dia.
Di mal-mal, misalnya, terdapat ratusan bahkan ribuan karyawan yang biasanya menggunakan kendaraan pribadi. Enggan membayar biaya parkir yang cukup tinggi di dalam gedung, akhirnya mereka memilih parkir di luar gedung. "Itulah kategori parkir liar. Karena, bukan kami yang kelola," kata Sunardi.
Kurangnya personel Dinas Perhubungan juga menjadi alasan sulitnya memberantas parkir liar. Di Pasar Tanah Abang, contohnya. Saat Republika menyambangi pasar grosir terbesar se-Asia Tenggara itu, seorang petugas Dishub mengaku kewalahan mengatasi parkir liar. Heri yang ditemui sedang berjaga di Posko Dishub Tanah Abang mengaku, saban hari ia bersama sembilan petugas Dishub lainnya berusaha meminimalisasi menjamurnya parkir liar di wilayah tersebut.
Sayangnya, meski sudah setiap hari berpatroli, parkir liar tetap masih ada. "Kalau ada razia gabungan, baru bisa ditertibin," kata Heri saat berbincang dengan Republika, Selasa (1/10).
Sunardi mengakui kekurangan ada keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dari Dishub maupun UP Perparkiran. UP Perparkiran mengelola parkir di sekitar 800 ribu titik di DKI Jakarta dengan juru parkir resmi sekitar 3.000 orang.
Guna mengatasi maslaah tersebut, Dishub telah mengajukan tambahan 1.000 personel untuk seluruh wilayah Jakarta. Personel ini nantinya akan dibagi ke lima wilayah kotamadya dengan masing-masing 200 personel.
UP Perparkiran juga melakukan kerja sama dengan pihak swasta yang dianggap lebih profesional dalam menangani perparkiran. Nantinya, UP Perparkiran akan memegang fungsi sebagai regulator yang mengawasi, memantau, serta melakukan penegakan hukum. "Dalam kerja sama ini disyaratkan bahwa para juru parkir resmi yang saat ini telah ada wajib dipekerjakan."
Nantinya, juru parkir ini akan diberi tugas sebagai pengawas dan pemandu di lokasi parkir. Para petugas ini diberi gaji bulanan senilai dua kali upah minimum provinsi (UMP). Diberlakukan pula syarat-syarat yang lebih ketat bagi para juru parkir, yaitu sanksi pemecatan tanpa syarat apabila para juru parkir ketahuan menerima atau meminta uang cash kepada pengguna jasa parkir.
"Karena mereka sudah digaji bulanan, sekarang yang dituntut profesionalismenya," kata Sunardi.
Walaupun begitu, ia kembali menegaskan bahwa jumlah petugas juru parkir dan Dishub serta aparat kepolisian bukanlah tolok ukur utama keberhasilan penanggulangan masalah parkir di Jakarta. Ia berharap masyarakat sadar terhadap aturan-aturan yang telah diberlakukan.
Dengan begitu, nantinya aparat akan lebih berfungsi untuk memberikan tindakan kepada para pengguna jasa parkir liar. Pemberlakuan denda maksimal disertai sosialisasi yang intensif dan penegakan hukum yang kencang, diharapkan akan dapat memberikan efek jera kepada para pelanggar.
UP Perparkiran juga menggunakan sistem parkir meter. Sistem ini telah diujicobakan sejak sepekan lalu di Jalan KH Agus Salim atau Jalan Sabang. Manajer Operasional UP Perparkiran Jakarta Pusat Zainal Arifin mengklaim ada penurunan jumlah pengguna jasa parkir di lokasi tersebut sejak digunakannya alat parkir meter.
Sunardi mengatakan, tak hanya lebih transparan dan akuntabel, penggunaan sistem parkir meter diharapkan dapat mengubah kultur masyarakat yang lebih senang menggunakan jasa parkir liar.
Ia menyebut, nantinya Pemprov DKI akan memasang alat itu di 200 titik dari sekitar 400 titik parkir on street yang dikelola UP Perparkiran di seluruh wilayah Jakarta. Alat ini juga akan dilengkapi dengan CCTV yang dapat menangkap apabila terjadi transaksi cash antara pengguna jasa parkir dan juru parkir di lapangan, serta apabila ada pengguna jasa parkir yang tidak mau membayar.
"Justru yang benar, ke depannya, tanpa petugas di situ, masyarakat sudah sadar hukum. Dia membayar jujur. Kalau dia parkir dua jam, bayar dua jam. Kalau satu jam, bayar satu jam," kata Sunardi.
Sunardi juga mengatakan, saat ini UP Perparkiran juga berupaya mencari lahan agar dapat membangun layanan parkir off street. Nantinya, tarif parkir di tempat ini akan ditentukan lebih murah dari tarif parkir on street yang saat ini diberlakukan secara progresif (per jam). Dengan begitu, masyarakat diharapkan akan memilih menggunakan jasa parkir off street daripada on street. n c92 ed: karta raharja ucu