REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Pengamat Politik Universitas Gadjah Mada Hasrul Hanif mengatakan calon presiden independen tidak cocok dengan bentuk multipartai di Indonesia.
"Karakter sistem multipartai tidak 'compatible' dengan calon presiden independen," katanya saat dihubungi per telepon dari Jakarta, Senin. Ia mengatakan masalah calon presiden independen bukan pada pemilihan namun justru setelah terpilih menjadi presiden.
Menurut dia, kemungkinan seorang calon presiden independen terpilih karena popularitasnya cukup besar. "Tapi masalahnya melihat konteks presidensial di Indonesia, bagaimana bernegosisasi dengan parlemen, banyak pengalaman membuktikan, presiden tanpa didukung parlemen akan pincang, tidak bisa berbuat banyak, bisa berjalan tapi tidak bisa berbuat apa-apa seperti bebek pincang," katanya.
Ia mencontohkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih dengan popularitas 60 persen meskipun memiliki Partai Demokrat dengan 26 persen suara mayoritas di DPR harus membentuk koalisi dan bernegosiasi alot. "Apalagi kalau ini berasal dari calon independen," katanya.
Ia menambahkan berbeda dengan AS yang miliki sistem kepartaian sederhana dengan dua partai politik yang lebih memungkinkan bagi calon independen. Apalagi, AS benar-benar menggunakan sistem presidensial murni dan pemisahan kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif yang lebih jelas, katanya.
"Berbeda dengan Indonesia dimana sistem presidensial dalam sistem multipartai dan legislatif yang tampak seperti sistem parlementer sehingga negosiasi dengan parlemen berjalan sangat intens," katanya.
Senada dengan Hasrul, pengamat politik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit mengatakan calon presiden independen tidak realistis dalam sistem politik di Indonesia saat ini.
"Calon presiden independen percuma, belum realistis, calon tanpa mesin politik hanya akan menambah barang-barang tak berguna, seperti DPD yang hanya ada barangnya tapi tak punya
kewenangan," katanya.
Menurut dia, demokrasi di Indonesia belum memadai untuk calon independen karena sistem semipresidensial yang dikembangkan juga diimbangi dengan sistem parlementer di DPR.
Untuk itu, menurut dia, setiap calon presiden membutuhkan mesin politik seperti partai politik yang memiliki jaringan kuat.
Tanpa mesin politik, calon presiden independen tidak realistis dalam merealisasikan gagasan atau idealisme yang ingin diwujudkan untuk mengatasi masalah rakyat, katanya.
"Capres independen akan lumpuh di hadapan parlemen tanpa mesin politik," katanya.