REPUBLIKA.CO.ID,KAIRO--Mesir akan membuka secara permanen pelintasan perbatasan Rafah untuk melonggarkan blokade atas Gaza, kata Menteri Luar Negeri Nabil al Arabi, Jumat, yang membuat Israel cemas akan dampaknya bagi keamanan regional. Arabi dalam wawancara dengan stasiun televisi Al Jazeera mengatakan negaranya akan melakukan "langkah-langkah penting untuk membantu melonggarkan blokade terhadap Gaza dalam beberapa hari ke depan, kata jaringan satelit berbahasa Arab itu.
Ia mengatakan, Mesir tidak lagi setuju bahwa perbatasan Rafah -- satu-satunya tempat penyeberangan yang tidak melalui Israel-- tetap diblokade, menyebutkan keputusan negaranya menutup perbatasan itu sebagai "memalukan."
Di Jerusalem, seorang pejabat senior Israel mengatakan negara Yahudi itu "sangat cemas" akan dampak dari pembukaan pelintasan Rafah. Berbicara tanpa bersedia namanya disebutkan, pejabat Israel itu mengatakan, para penguasa Hamas di Gaza sudah meningkatkan mesin militer yang berbahaya di Sinai utara yang dapat lebih jauh diperkuat dengan pembukaan perbatasan itu. "Kami sangat cemas akan situasi di Sinai utara di mana Hamas berhasil membangun satu mesin militer yang berbahaya, kendatipun Mesir berusaha mencegahnya," katanya kepada AFP tanpa merinci lebih jauh.
Pada awal pekan ini, para penyerang tidak dikenal di Sinai utara meledakkan sebuah pipa gas yang memasok gas ke Israel dan Jordania, yang merupakan kedua kali disabotase dalam 10 pekan. Masih belum jelas siapa yang berada dibelakang serangan-serangan itu. Tetapi faktanya adalah rezim baru di Kairo berusaha meningkatkan hubungannya dengan para penguasa Hamas di Gaza dan juga berusaha menjalin hubungan yang lebih baik dengan Iran musuh lamanya, adalah satu masalah yang dapat menimbulkan implikasi penting bagi keamanan nasional Israel, kata sumber itu.
"Kami disusahkan oleh perkembangan-perkembangan di Mesir, dengan adanya suara-suara yang menyerukan pembatalan perjanjian perdamaian, dengan pendekatan antara Mesir dan Iran,dan dengan meningkatnya hubungan antara Mesir dan Hamas. Perkembangn-perkembangan ini kemungkinan besar memiliki implikasi-implikasi penting bagi keamanan nasional Israel."
Tindakan itu diumumkan sehari setelah Hamas mencapai satu rekonsiliasi yang mengejutkan dengan kelompok Fatah saingannya yang menguasai Pemerintah Palestina di Tepi Barat, dalam satu perkembangan yang menimbulkan kemarahan dan kekhawatiran di Israel. "Perkembangan baru-baru ini sangat mencemaskan," katanya tanpa menjelaskan lebih jauh.
Para pejabat Palestina menyambut baik tindakan itu, dengan ketua juru runding Palestina Saeb Erakat mengatakan itu adalah satu langkah maju bagi pencabutan pengepungan terhadap Jalur Gaza. "Kami menyambut baik tindakan Mesir ini. Kami telah mendesak mereka sepanjang waktu untuk menghentikan penderitaan penduduk Gaza, tetapi pengepungan riil dilakukan Israel karena ada banyak perlintasan dengan Israel tetapi hanya satu dengan Mesir," katanya.
"Kami meminta Israel membuka seluruh perbatasan untuk menghentikan kejahatan terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza," katanya kepada AFP. Hatem Ewidah, pejabat Hamas yang mengawasi perlintasan di Gaza juga menyambut baik tindakan itu, tetapi menegaskan adalah "penting membuka pelintasan komersil dengan Mesir" untuk mengurangi dampak blokade itu.
Perbatasan Rafah adalah satu-satunya jalan masuk dan keluar dari Gaza yang tidak melalui Israel. Perbatasan itu sebagian besar tetap ditutup sejak Juni 2006 ketika Israel memberlakukan blokade ketat terhadap wilayah itu setelah para pejuang Palestina menangkap serdadu Israel Gilad Shalit, yang sampai kini masih ditahan.
Blokade itu diperketat setahun kemudian setelah gerakan Hamas menguasai Jalur Gaza dengan menyingkirkan pasukan yang setia Pemerintah Palestina yang didukung Barat. Mesir secara aktif mendukung blokade Israel, sering dikecam regional karena tetap menutup perbatasan itu dan membangun satu tembok di bawah tanah dalam usaha mengekang penyelundupan, yang dianggapnya sebagai satu bahaya keamanan.
Tetapi awal tahun ini,protes-protes massa di jalan-jalan Mesir yang menyebabkan mundurnya Presiden Hosni Mubarak, dengan rezim militer baru ingin meninjau kembali kebijakannya atas Gaza. Membuka perbatasan itu tanpa pengawasan internasional kemungkinan melanggar perjanjian tahun 2005 antara Israel dan Mesir yang ditengahi Amerika Serikat. Berdasarkan ketentuan perjanjian itu, pelintasan itu akan berada dibawah pengawasan Mesir dan Palestina, dengan pengawas-pengawas Eropa dan kamera pengintai Israel.