REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS - Setelah dilanda protes besar-besaran selama berminggu-minggu dan memberlakukan sensor terhadap media, Presiden Suriah Bashar Al-Assad memberikan amnesti untuk "semua anggota gerakan politik".
Pemberian amnesti ini disinyalir sebagai upaya untuk menenangkan protes rakyat—dan dibalas dengan serangan militer—yang telah berlangsung selama beberapa pekan, dan mengguncang keamanan negara.
Media yang dikendalikan pemerintah Suriah mengumumkan, bahwa Presiden Assad telah mengeluarkan dekrit amnesti untuk kejahatan politik yang dilakukan sebelum 31 Mei 2011. "Amnesti ini mencakup semua anggota gerakan politik, termasuk Ikhwanul Muslimin (IM) yang terlarang dan semua tahanan politik," kata laporan tersebut, Selasa (31/5).
Sejumlah anggota IM, yang memimpin pemberontakan bersenjata melawan ayah Assad pada 1982, telah dihukum mati di Suriah. Pemberian amnesti ini diyakini menjadi bagian dari tawaran pemerintah Suriah kepada kelompok oposisi, namun tak lebih dari aksi simbolis.
Namun amnesti ini bisa juga dilihat sebagai putusan banding bagi pengunjuk rasa, karena salah satu tuntutan utama—pembebasan tahanan politik—dikabulkan presiden. Dengan putusan ini, kelompok oposisi juga melihat bahwa sang pemimpin negara telah membatasi kewenangan pasukan keamanan Suriah.
"Ini adalah salah satu tuntutan yang paling penting, orang-orang di penjara selama bertahun-tahun karena tuntutan mereka atas hak asasi manusia (HAM) rakyat kita," kata Anwar Al-Bunni, seorang pengacara dan aktivis HAM di Suriah.
Bunni—yang mendekam di penjara selama lima tahun sebelum dibebaskan pekan lalu—mengatakan, amnesti bagi tahanan politik merupakan langkah penting, namun Suriah perlu mengalami banyak perubahan. "Kita perlu membentuk partai politik, bekerja secara politis, harus bertemu, dan memiliki media independen sendiri," ujarnya.
"Kita harus membuka halaman baru di Suriah, Suriah yang demokratis, Suriah yang bebas," tegasnya.