Senin 13 Jun 2011 10:44 WIB

Pejabat Korupsi Jangan Diperlakukan Istimewa

Korupsi
Korupsi

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG-- Ketua Ombudsman RI Perwakilan Nusa Tenggara Timur-Nusa Tenggara Barat, Johanes Tubahelan, menegaskan pejabat yang korup jangan lagi diperlakukan istimewa.

Ia mengingatkan pejabat korup itu memiliki kedudukan yang sama di depan hukum seperti warga negara lainnya. "Jangan lagi ada undang-undang yang melindungi kepentingan pejabat negara. Jika mereka terbukti bersalah atau terlibat dalam kasus hukum harus diproses seperti warga negara lainnya, tanpa perlu ada izin dari pejabat berwenang," katanya di Kupang, Senin.

Tubahelen yang juga dosen hukum administrasi dari Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengemukakan pandangannya tersebut ketika ditanya soal penanganan kasus hukum yang melibatkan pejabat negara seiring dengan rencana penyerahan RUU tentang Pemerintah Daerah ke DPR dalam bulan Juni ini.

Sementara itu, pengamat hukum dan politik dari Undana Kupang Nicolaus Pira Bunga SH.MHum yang dihubungi secara terpisah mengatakan, pejabat yang terindikasi terlibat dalam kasus hukum, mendapat perlindungan yang cukup istimewa dalam Pasal 36 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 36 ayat (1) menegaskan, "Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik".

Ayat (2) mengisyaratkan, "Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan".

"Yang pertanyaan kita sekarang, bagaimana penyidik tahu kalau permohonannya sudah diterima oleh Presiden? Apakah pada hari ke-61 penyidik langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan kepada pejabat bersangkutan? Ini menjadi tanda tanya besar," kata Pira Bunga.

Mantan Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Undana Kupang itu menambahkan waktu 60 hari itu terlalu lama untuk menyidik sebuah perkara, karena tidak tertutup kemungkinan terjadi deal-deal politik dan uang antara penyidik dengan pejabat bersangkutan guna "mempetieskan" kasus tersebut.

Menurut dia, kemungkinan terjadi "deal-deal" tersebut sangat terbuka lebar, karena pejabat bersangkutan memiliki kekuatan ekonomi dan politik untuk menggagalkan kasus hukumnya selama proses perizinan ke Presiden itu sedang berlangsung.

"Jika kita mengacu pada pasal 27 UUD 1945 itu, maka pejabat negara pun tidak perlu mendapat izin dari Presiden jika terbukti bersalah dalam kasus hukum," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement