REPUBLIKA.CO.ID,TUNIS--Pengadilan in absentia bekas presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali, yang sekarang berada di pengasingan di Arab Saudi, akan dimulai pada 20 Juni, kata Perdana Menteri sementara Tunisia Beji Caid Essebsi kepada Al Jazeera, Senin. "Saya akan mengumumkan untuk pertama kali, pengadilan ini akan mulai pada tanggal 20 Juni," kata Essebsi pada saluran televisi itu. Ia menambahkan bahwa Ben Ali dan sekan-rekannya akan menghadapi lebih dari 90 tuduhan.
Ia juga menyampaikan bahwa pemerintah Saudi tidak menanggapi permintaan Tunisia untuk menyerahkan bekas presiden itu. Ben Ali melarikan diri dari Tunisia pada Januari lalu menyusul pemberontakan terhadap pemerintahnya yang sudah 23 tahun dan diperkirakan berada di Arab Saudi. Beberapa anggota keluarganya mengatakan ia menderita stroke pada Februari dan ia telah tidak tampil di depan umum.
Pemerintah baru Tunisia telah siap untuk mengadilinya dan isterinya Leila Trabelsi, dengan tuduhan in absentia kepemilikan obat bius dan senjata, serta korupsi. Pihak berwenang Tunisia menyatakan tuduhan pertama akan terkait dengan penemuan uang, senjata dan obat bius di istana presiden, termasuk hampir dua kilogram narkotika, yang diperkirakan cannabis, dan uang kontan 27 juta dolar.
Penemuan itu membentuk basis hanya dua dari puluhan penyelidikan tidak henti atas bekas pasangan pertama itu, keluarga mereka serta menteri-menteri dan pejabat-pejabat bekas rezim itu. Pemerintah mengatakan mereka juga memeriksa kasus pembunuhan, penyalahgunaan kekuasaan, perdagangan artefak arkeologis dan pencucian uang.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pengacara Prancis-nya, Ben Ali mengecam pengadilan itu sebagai "penyamaran diri". Pemerintah sementara Tunisia telah meminta ekstradisi bekas presiden itu dari Arab Saudi bersama dengan isterinya, dan beberapa negara Eropa telah membekukan aset milik Ben Ali dan kelompoknya.
Revolusi Tunisia adalah yang pertama dan sejauh ini yang paling berhasil dari serangkaian pemberontakan terhadap para penguasa otokratis di Timur Tengah dan Afrika utara yang menjadi terkenal sebagai "Arab Spring". Mesir juga memulai program pembaruan demokratis setelah jatuhnya Hosni Mubarak. Tapi Libya dan Yaman telah jatuh ke dalam konflik saudara dan demonstrasi pro-demokrasi di Bahrain dan Suriah menghadapi penindasan brutal.