REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrat mengingatkan bahwa BNP2TKI dibentuk untuk memenuhi harapan presiden dalam melindungi dan merekrut TKI dengan optimal. Nyatanya, kasus Ruyati binti Satubi membuktikan harapan Presiden RI tidak dilakukan oleh BNP2TKI.
Wakil Sekjen Partai Demokrat, Saan Mastofa, mengabarkan bahwa pihaknya telah mendapatkan cerita langsung dari keluarga Ruyati, TKI yang dihukum pancung oleh Pemerintah Saudi, Sabtu (18/6) lalu. "Kasus Ruyati sudah sejak 2010, dan keluarga secara maksimal datang ke BNP2TKI untuk mendapat bantuan," papar Saan saat akan menghadiri Sidang Paripurna di Gedung DPR RI, Selasa (21/6).
Namun, lanjut Saan, permintaan bantuan keluarga agar Ruyati terhindar dari hukuman mati tidak mendapat respon cepat dari pihak BNP2TKI. Kata Saan, pihak BNP2TKI hanya mengatakan bahwa mereka terus memproses kasus Ruyati sampai akhirnya keluarga terlambat diberitahu pelaksanaan hukuman pancung keluarga mereka.
"Laporan keluarga tidak direspon serius. Sensitifitas BNP2TKI terhadap keluhan masyarakat sangat kurang," keluh Saan. PartaI Demokrat pun melihat lolosnya kasus Ruyati sebagai murni kelalaian BNP2TKI dan Kementerian Luar Negeri.
Saan melihat, BNP2TKI baru menampakan keseriusannya merespon sebuah kasus jika sudah terekspos ke masyarakat melalui media massa. Selama tidak terekspos, BNP2TKI seakan kembali pada sifat mereka yang asli, tidak sensitif dan kurang responsif.
Karena itu, Partai Demokrat meminta BNP2TKI menunjukan tanggung jawabnya atas kelalaian yang mereka lakukan dalam penanganan kasus Ruyati. Kedutaan RI di Saudi pun diminta untuk lebih aktif mengetahui kasus yang dihadapi TKI di wilayah kedutaan mereka. "Kasus Ruyati bukan pertama kali, masih banyak TKI kita yang sedang menghadapi masalah."