REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dua organisasi advokat yaitu Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI) bersiteru soal putusan Mahkamah Konstitusi tentang organisasi advokat yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Konflik tersebut mengakibatkan ribuan pengacara di Indonesia terancam kehilangan pekerjaan.
Menurut Koordinator Tim Advokasi DPP KAI, Erman Umar, ribuan pengacara yang tergabung dalam KAI tidak diakui oleh setiap pengadilan tinggi di Indonesia. Karena, majelis hakim yang memimpin persidangan menolak pengacara yang mendampingi seorang terdakwa.
"Ini kan gawat, gara-gara itu, seorang terdakwa secara khusus atau masyarakat secara umum yang ingin mendapat bantuan hukum jadi terhalang," kata Erman dalam keterangan persnya di Jakarta, Rabu (13/7).
Erman mengatakan, hal tersebut terjadi karena pengadilan tinggi itu tidak mengakui pengacara yang tergabung dalam KAI. Mereka menganggap bahwa pengacara yang boleh mendampingi seorang terdakwa hanya yang tergabung dalam Peradi.
Padahal, berdasarkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusannya pada 30 Juni 2011 No 79/PUU-VII/2010 memerintahkan kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk melaksanakan sumpah advokat tanpa membedakan para advokat yang berasal dari organisasi manapun juga.
Masih berdasarkan amar putusan itu, Erman menjelaskan bahwa secara de facto bahwa organisasi advokat yang eksis dan diakui adalah Peradi dan Kongres Advokat Indonesia. "Jelas saja, Pengadilan Tinggi di Indonesia tidak memahami aturan itu, dan membuat sebanyak 8000 pengacara anggota KAI terancam kehilangan pekerjaan," kata Erman.
Erman mencontohkan, di Pengadilan Tinggi Bekasi, ada seorang pengacara yang harus mengganti uang pembayaran dari kliennya. Karena, hakim tidak memperkenankan pengacara itu mendampingi kliennya tersebut.
Sebelumnya, Ketua Peradi Otto Hasibuan dalam keterangan persnya mengatakan, Peradi merupakan satu-satunya wadah advokat di Indonesia. Hal ini diungkapkan, setelah adanya putusan MK yang menolak uji materi UU No 18 tentang Advokat dari Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) dan KAI.
"Semua advokat di Indonesia, apabila ingin beracara harus menjadi anggota Peradi. Apabila bukan anggota Peradi, maka tidak boleh beracara di persidangan," ujar Otto.
Menurut Erman, keterangan dari Otto itu menyesatkan. Karena, Otto hanya melakukan penafsiran yang salah atas putusan MK tersebut.