REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mantan panitera Mahkamah Konstitusi (MK), Zainal Arifin Hoesein, dan kuasa hukumnya, Ahmad Rifai, mendatangi kantor MK, Rabu (24/8).
Menurut Rifai, kedatangan Zainal Arifin untuk memastikan kesediaan Ketua MK Mahfud MD dan hakim konstitusi untuk menjadi saksi meringankan kliennya. "Kami bertemu Pak Mahfud, Pak Harjono, dan Ibu Maria Farida Indrati. Beliau menyatakan kesediaannya," ujar Rifai di lobi gedung MK.
Ditanya kapan kepastian Mahfud MD dan hakim konstitusi menjalani pemeriksaan sebagai saksi meringankan, Rifai belum bisa memastikannya. Karena hal itu tergantung penyidik yang bisa mengundang saksi kapan pun waktunya.
Menurut Rifai, penetapan tersangka terhadap kliennya sangat naif. Pasalnya, hukum pidana itu harusnya melihat motivasi dan delik. Jika penyidik mau berpatokan motif dan delik, kata dia, sangat terang surat tertanggal 14 Agustus 2009 tersebut dikirimkan oleh mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Andi Nurpati.
Adapun surat putusan MK yang asli tertanggal 17 Agustus 2009, menyatakan caleg Partai Gerindra Mestariyani Habie meraih suara terbanyak. Berkebalikan dengan surat palsu yang dibuat Andi Nurpati yang menyatakan caleg Partai Hanura Dewie Yasin Limpo yang meraih kursi DPR dari Daerah Pemilihan 1 Sulawesi Selatan.
Rifai menyatakan, pada saat rapat pleno di KPU pada 21 Agustus 2009, Andi Nurpati menggunakan surat palsu untuk memaksakan lolosnya Dewie Yasin Limpo. Padahal saat itu surat putusan asli dari MK sudah dikirim ke KPU. "Kenapa tidak menetapkan tersangka ada di situ? Itu sudah sangat jelas," tegas Rifai.
Kalau kliennya ditetapkan jadi tersangka oleh penyidik, ia menilai rasionalitas hukum sangat kabur. Karena itu, Rifai menyarakan penyidik bekerja sesuai alur dan fakta hukum.
Ia meminta Polri lepas dari tekanan kekuasaan dan politik dalam menangani kasus pemalsuan surat MK tersebut. "Penyidik harus profesional. Tunjukanlah polisi sudah reformasi, jangan hanya slogan saja!" ketus Rifai.