REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi III DPR-RI, Aziz Syamsudin, menilai vonis bebas Pengadilan Tipikor Bandung terhadap Walikota Bekasi non-aktif Mochtar Mohammad sebagai hal yang biasa.
"Hal yang wajar saja kalau dalam fakta hukum, dalam persidangan, tidak memenuhi unsur pembuktian. Itu tergantung hakim yang menilai. Makanya hakim memenuhi unsur dalam pembuktian fakta hukum itu di pengadilan," katanya, di gedung DPR, Jakarta, Rabu (12/10).
Menurut Aziz, hasil persidangan itu bukan berarti pelemahan lembaga. Melainkan melihat fakta hukum yang beredar dalam persidangan. Makanya patut diperhatikan mengenai keberanian hakim yang memutuskan perkara.
"Hakim yang punya keberanian. Dan di sini kita minta hakim-hakim itu mengikuti asas dan hati nurani dalam memutus suatu perkara. Makanya dalam memutus suatu perkara bukan berdasarkan tekanan, tapi keadilan. Jadi tidak ada masalah bagi saya," tambahnya.
Karenanya, ia mengaku tidak curiga dengan keputusan tersebut. Apalagi sidang dilakukan secara terbuka, begitu pula dengan dokumennya. "Apakah kalau masuk pengadilan tipikor harus dihukum? Tidak, karena tidak ada aturannya. Itu yang saya bilang, undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus direvisi. Banyak ketentuan di dalam undang-undang itu yang melanggar ketentuan yang ada di dalam KUHAP," papar politisi Partai Golkar ini.
Antara lain, mengenai tidak boleh adanya SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Alasannya, dalam proses pro yustisia tidak ada lembaga hukum yang menangani mulai dari proses penyelidikan, penuntutan, dan pengadilan dalam satu atap. Seharusnya, fungsi penuntutan dikembalikan ke kejaksaan agung sesuai dengan peraturan yang ada.
"Yang jadi perhatian kita penegakan hukum ke depan, arahnya mau ke mana. Kalau kita mau punya hukum, aturan main ada di KUHAP," tegas Aziz.