REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - PT Freeport Indonesia mengungkapkan sistem pengupahan yang diberikan kepada pekerjanya selama ini mengacu pada aturan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, atau boleh dikatakan yang terbaik di Indonesia.
Hal itu disampaikan Juru Bicara Freeport Indonesia Ramdani Sirait di Jakarta, Selasa (18/10), terkait dengan aksi mogok para pekerja Freeport yang menuntut kenaikan upah. "Dari awal dalam hal pengupahan, perusahaan selalu mengikuti hukum ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Bahkan kalau dibilang yang terbaik di Indonesia," kata Ramdani.
Ramdani membuktikan bahwa pernyataannya itu adalah benar. Ia mencontohkan untuk pekerja non staf dengan nol pengalaman, lulusan SMU per tahun bisa mendapatkan penghasilan Rp170 juta, dan itu belum termasuk bonus dan lain-lain.
"Jadi kalau dalam mediasi upah kita naikkan 22 persen, maka pekerja akan mendapatkan upah Rp210 juta di Oktober ini. Untuk non staf, pengupahan ini saya kira yang terbaik diseluruh Indonesia," cetus dia.
Namun begitu, dalam kesepakatan terbaru antara serikat pekerja, manajemen dan mediator telah ditetapkan bahwa kenaikan itu mencapai angka 25 persen. Tetapi pihak serikat pekerja masih menolak dengan alasan yang tidak jelas.
"Saya kira dalam kesepakatan tersebut hanya isinya saja yang perlu perbaikan, yang tadinya hanya 22 persen menjadi 25 persen," katanya.
Menurutnya, kalaupun mereka masih tidak setuju, hal itu semestinya bisa dirundingkan lewat forum bersama, bukan melakukan aksi sabotase.
Untuk diketahui, akibat tidak terwujudnya kesepakatan, para pekerja yang mogok kerja melakukan aksi sabotase seperti menutup akses jalan atau pemblokiran di Mile 28 dengan alat berat, memotong pipa penyaluran konsentrat ke pelabuhan.
Serta merusak satu unit trailer tangki air dan kontainer logistik dirusak pendemo. Akibat pemblokiran tersebut pengiriman logistik ke lokasi tambang juga terhambat.