REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Brandon Neely, mantan sipir penjara militer AS, mengungkapkan apa yang terjadi di penjara Teluk Guantanamo, Kuba, pada CNN. Berikut lanjutan kisah sebelumnya:
Neely tidak menerima pelatihan khusus atau tambahan untuk bekerja di Guantanamo, katanya. Dia, dan sekitar 110 orang lainnya, tiba hanya beberapa hari sebelum para tahanan pertama datang. "Kontraktor masih pengelasan sel-sel pada saat itu," katanya.
Sebagai seorang polisi militer, Neely tidak terlibat dalam interogasi. Tugasnya hanya mencakup tugas mengawal, mengambil tahanan ke kamar mandi atau pemeriksaan medis, dan mengisi ember air dalam sel.
"Di Kamp X-Ray anda harus mengambil selang air dan menaruh air dalam ember mereka. Mereka memiliki dua ember, satu untuk air minum dan satu untuk digunakan untuk keperluan buang hajat," kata Neely.
Pada 11 Januari, para tahanan mulai berdatangan. "Kami menyebut mereka [para tahanan] adalah orang-orang 'jempolan'. Ini adalah kelompok dimana mereka harus keluar dari Afghanistan karena mereka benar-benar yang terburuk dari yang terburuk," kata Neely.
Namun, apa yang dilihat kemudian, di luar ekspektasinya. "Saya tidak benar-benar memahami bagaimana tampang seorang teroris. Tapi kemudian saya berpikir, ini kedengarannya lucu dan benar-benar naif. Aku agak terkejut bahwa banyak dari mereka sangat kurus dan kurang gizi."
Neely ingat pada saat itu berkomentar, "Jika ini adalah orang-orang yang paling berbahaya di dunia, kita tidak perlu khawatir pada mereka."
Para tahanan mengenakan kacamata hitam tak tembus pandang hingga separo batang hidung mereka tertutup, belenggu kaki, tiga potong pakaian, dan sarung tangan serta penutup kuping.
Ada sebuah insiden pada hari pertama. Dia mengatakan setelah para tahanan diproses -- diambil gambar dan sidik jari -- mereka diantar ke sel mereka. Neely mengatakan ia dan rekannya mengawal seorang tahanan ke Blok Alpha. Mereka mulai berjalan tapi tahanan itu tiba-tiba gemetar dan tidak mau lagi berjalan. "Jadi kita mulai berteriak dan menjerit padanya untuk berjalan lebih cepat. Namun ia tetap mogok hingga kami menyeretnya," katanya.
Tahanan itu dimasukkan ke dalam sel dengan Neely mengambil kontrol dari bagian atas tubuhnya. Borgol di kakinya dilepas, namun sang tahanan terus saja berteriak tak jelas dan berjalan ke arahnya.
"Tahu-tahu saya membanting dirinya di lantai dan saya di atas dia. Dia berusaha untuk bangun. Saya terus mendorong kepalanya ke lantai beton," Neely mengatakan. Ia bisa mendengar orang-orang di radio memanggil "kode merah Blok Alpha." Rekannya telah mundur keluar dari sel dan menutup pintu sel.
"Hanya ada saya dan tahanan itu dalam sel," katanya.
Teman-temannya datang kemudian dan membantunya. "Belakangan baru saya sadar, dia masih mengenakan tutup mata hitam sehingga dia tak bisa melihat. Dia menduga, akan dieksekusi segera," ujarnya.
Neely mengatakan dia merasa malu. Ia mengatakan ia menyaksikan pelecehan oleh para penjaga dan lain-lain selama enam bulan di kamp.
Dia mengatakan dalam satu insiden yang terjadi di beberapa minggu pertama di kamp, tahanan menolak untuk minum sekaleng minuman protein. Minuman ini diberikan untuk mengatasi kurang gizi mereka.
Jika mereka ketahuan tak meminumnya, hukumannya tak kenal ampun. Petugas akan masuk ke sel dan memasukkan kaleng itu ke mulutnya dan memaksa mereka menenggaknya, setelah sebelumnya puas memukuli. "Padahal, para tahanan enggan meminum karena mereka menduga akan diracun," tambahnya.
Ia menyatakan, menyaksikan kekerasan atas tahanan dilakukan hampir setiap hari. Tahanan akan dilarikan ke klinik dengan ambulan setelah tak sadarkan diri. (Bersambung)