REPUBLIKA.CO.ID,ISLAMABAD -- Perdana Menteri Pakistan, Yusuf Raza Gilani mengatakan bahwa hubungan kerjasama yang selama ini dilakukan dengan dengan Amerika Serikat akan dikesampingkan, menyusul serangan NATO menewaskan 24 tentara Pakistan.
"Bisnis seperti biasa tidak akan ada," kata Perdana Menteri Yusuf Raza Gilani ketika ditanya apakah hubungan dengan Amerika Serikat akan terus berlanjut. "Kita harus memiliki sesuatu yang lebih besar sehingga dapat memuaskan bangsa saya."
Insiden yang menewaskan pihak Pakistan, Sabtu kemarin, terjadi di perbatasan Pakistan dengan Afghanistan. Helikopter dan jet tempur NATO menyerang dua pos militer di barat laut Pakistan, menewaskan 24 tentara dan melukai 13 lainnya.
Kejadian ini telah mempersulit upaya AS untuk mengurangi krisis hubungannya dengan Pakistan dan menstabilkan kawasan tersebut sebelum pasukan tempur asing meninggalkan Afghanistan.
Komentar Gilani mencerminkan kemarahan pemerintah Pakistan dan militer, beserta tekanan yang mereka hadapi dari rakyat mereka sendiri. "Anda tidak bisa memenangkan perang apapun tanpa dukungan massa. Kami membutuhkan rakyat mendukung kami."
Hubungan kerjasama dengan AS, lanjut Gilani, akan diteruskan hanya jika didasarkan pada rasa saling menghormati dan kepentingan bersama. Ketika ditanya apakah Pakistan menerima hal itu, Gilani menjawab: "Pada saat ini, tidak."
Komentar Gilani menjadi puncak dari tekanan yang diterima militer Pakistan, yang mengancam akan mengurangi kerjasama dalam upaya perdamaian di Afghanistan. "Ini bisa memiliki konsekuensi serius dan menambah jarak pada kerjasama kami," kata juru bicara militer, Mayor Jenderal Athar Abbas.
Pakistan memiliki sejarah panjang dalam hubungannya dengan kelompok militan di Afghanistan. Hubungan ini memposisikan Pakistan untuk membantu penyelesaian damai antara militan dengan Afghanistan. Proses damai ini merupakan kebijakan luar negeri dan tujuan keamanan yang dilakukan pemerintahan Barack Obama.
AS percaya Pakistan dapat melakukan peran pentingnya meningkatkan keamanan di Afghanistan sebelum semua pasukan tempur NATO ditarik keluar pada 2014.