Selasa 29 Nov 2011 19:06 WIB

Daftar Terbuka Belum Tentu Transparan

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Chairul Akhmad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Daftar terbuka dalam Pemilu dinilai belum tentu memberikan transparansi baik kepada publik maupun calon wakil rakyat. Sistem ini dinilai masih misterius dan tumpang tindih, karena dinamakan daftar terbuka, tapi data perolehan suara dan daftar pemilih belum tentu dapat diakses.

"Ini terjadi pada Pemilu 2009 lalu," jelas Peneliti Pemilu Kemitraan, August Melaz, saat dihubungi, Selasa (29/11).

Daftar terbuka memang menunjukkan transparansi kepada masyarakat karena tidak hanya nomor urut, tetapi juga foto calon wakil rakyat. Hal ini memudahkan masyarakat untuk mengenali siapa wakil rakyat yang digandrungi, meskipun yang bersangkutan belum tentu berkualitas. Hubungan psikologis antara masyarakat atau konstituen dengan calon akan bermanfaat dengan diterapkannya sistem ini.

Meskipun demikian, August menyatakan sistem ini belum tentu transparan. Data perolehan jumlah suara perlu dibuat transparan sehingga dapat diakses banyak orang. Masyarakat dari level atas hingga bawah berhak untuk memperoleh data tersebut.

Begitu juga dengan daftar pemilih. Hal ini perlu dibuat transparan agar masyarakat mengetahui apakah nama mereka masuk dalam daftar atau tidak. "Kalau keduanya sudah transparan maka sistem daftar terbuka ini memang bagus," jelasnya.

Transparansi membuat masyarakat akan menilai terkait kejelasan data. "Jadi, nantinya bisa dibandingkan antara jumlah perolehan suara dengan jumlah pemilih," kata August.

Jika terjadi ketidaksamaan maka masyarakat bisa mempersoalkan hal itu langsung kepada penyelenggara Pemilu. August menyatakan DPR perlu mempertimbangkan lebih jauh apakah benar sistem daftar terbuka ini memang layak atau tidak.

Sebabnya, opini masyarakat yang terbentuk sekarang ini, terjadinya kemerosotan kualitas anggota dewan yang pada periode ini terjadi karena sistem tersebut. Loyalitas terhadap fraksi berkurang. Anggota dewan cenderung bekerja secara individual dan kerap mengabaikan kebijakan yang dikeluarkan fraksi.

Alasannya, mereka sudah berjuang sendirian pada saat Pemilu. Sehingga, pada saat menjadi anggota dewan, mereka bisa berbuat apa saja tanpa ada apa pun atau siapa pun yang mengatur.

Anggota Pansus RUU Pemilu dari PKB, Ida Fauziyah, menyatakan, sistem proporsional campuran ini sulit untuk diterapkan. Selama ini, pemilu di Indonesia cenderung kepada sistem pemilu terbuka atau tertutup.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement