REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Korupsi Sumber Daya Alam (SDA) memiliki dampak yang jauh lebih berat dibanding korupsi lainnya. Korupsi SDA bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga aset masa depan negara dan tatanan berbangsa dan bernegara.
Secara finansial, korupsi SDA merugikan negara karena negara yang seharusnya menikmati hasil SDA justru tidak mendapatkan apa-apa. Hal itu, menurut Direktur Eksekutif Walhi Pusat, Berry Nahdian Furqon, dapat dilihat dari kasus pertambangan Batubara.
Indonesia telah mengekspor batubara sebanyak 70 persen dari penambangannya. Namun disisi lain, pemerintah mengatakan Indonesia masih kekurangan energi, dan berencana mengimpor batubara. "Untuk kasus itu, di mana logikanya?" kata Berry di Yogyakarta, akhir pekan (3/12) lalu.
Saat ini, lebih dari 200 juta ton batubara dikeruk dari bumi Kalimantan. Ironisnya, kata dia, hanya sebesar 2 persen yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan penduduk Kalimantan. Selebihnya, sebanyak 70 persen adalah untuk memenuhi kebutuhan asing. Hal itu mencerminkan pepatah ayam mati di lumbung padi.
Di Kutai Timur sendiri, dari 135 desa, hanya sekitar 27 persen yang dialiri listrik. Sedangkan perusahaan tambang bebas menggunakan aliran listrik yang bisa menerangi separuh rumah penduduk di sana. Data lain dari Walhi menunjukkan, bahwa dari penduduk miskin di Kutai Timur, 48,25 persen berada di kawasan pertambangan.
Padahal, menurut UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan bahwa pertambangan harus melihat asas manfaat, keadilan dan keseimbangan. Selain itu, harus ada keberpihakan kepada kepentingan bangsa.
Menurut Anggota Komisi II DPR RI, Budiman Sudjatmiko, pendirian perusahaan tambang yang memiliki kuasa pertambangan di Indonesia belum memenuhi amanat UU tersebut. Hal itu dapat dilihat dari kurang perhatiannya terhadap kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar kawasan tambang. Lebih lanjut lagi perhatian terhadap kondisi lingkungan pasca proses penambangan.