REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG – Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-il telah meninggal dunia di usia 69 tahun, Sabtu (17/12) lalu setelah menderita serangan jantung, seperti yang diumumkan oleh media pemerintah Korea Utara dua hari setelahnya atau Senin (19/12) kemarin.
Sementara rakyat berduka, dunia internasional justru meresahkan kepergian Kim yang telah mewariskan kekuasaannya kepada Kim Jong-un, putra bungsunya.
Kantor berita pemerintah Korut, KCNA, menyatakan bahwa Kim—yang dikenal di negara komunis itu sebagai "Pemimpin Tercinta"—meninggal di dalam kereta api selama perjalanan keluar dari Pyongyang. Disebutkan bahwa Kim menghembuskan nafas terakhirnya akibat ketegangan mental dan fisik yang berat selama inspeksi lapangan yang sangat intens.
"Ini adalah kehilangan terbesar bagi partai... dan kesedihan terbesar bagi rakyat dan bangsa kami," kata presenter berita sambil menangis saat mengumumkan kematian Kim di televisi pemerintah. Presenter juga mendesak negara, rakyat dan militer untuk, "Setia kepada Kim Jong-un" sang pewaris rezim komunis Korut.
"Pada kepemimpinan Kim Jong-un, kita harus mengubah kesedihan menjadi kekuatan dan keberanian dan mengatasi kesulitan hari ini," katanya.
Tahun lalu, Kim Jong-il menunjuk Kim Jong-un ke sejumlah pos strategis yang dilihat sebagai penempatannya sebagai pengganti setelah spekulasi bertahun-tahun tentang kesehatan Kim tua yang mulai menurun.
Korut mengatakan jasad Kim dibawa ke rumah duka Kumsusan di Pyongyang dan akan mengadakan masa berkabung nasional sampai 29 Desember, saat "semua orang di seluruh tanah air akan menghabiskan tiga menit dalam doa."
Pemakaman Kim akan diselenggarakan pada 28 Desember dan hiburan akan dilarang selama masa berkabung. Negara juga tidak akan menerima delegasi asing yang berharap untuk menyampaikan bela sungkawa.
Korea Selatan menyatakan keprihatinan atas kabar kematian Kim. Pejabat parlemen Korsel, Lee Kyu-yun, mengaku berpikir untuk menimbun makanan karena khawatir melonjaknya kembali ketegangan militer. Tetapi analis mengatakan kematian Kim tidak mungkin menimbulkan kekacauan karena Korut sedang menyiapkan transisi kekuasaan. "Tidak akan ada keadaan darurat di Korea Utara, setidaknya dalam beberapa bulan ke depan," kata Baek Seung-Joo dari Institut Analisis Pertahanan Korsel.