REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Mantan presiden Mesir Husni Mubarak, dianggap bertanggung jawab atas tewasnya 850 pemrotes selama pergolakan revolusi tahun lalu. Dua anaknya, mantan Menteri Dalam Negeri Habib el-Adly dan enam petugas polisi lainnya juga dinyatakan bersalah atas korupsi hingga tewasnya para pemrotes.
Satu anggota tim penuntut terdiri lima jaksa, Mustafa Khater, dalam sidang Husni Mubarak pada Kamis menuntut presiden terguling itu dihukum gantung atas pembunuhan terhadap para pemrotes yang menentang pemerintahannya.
"Hukuman adalah solusi. Setiap hakim yang adil harus menjatuhkan hukuman mati terhadap para terdakwa," ujar Khater pada pembacaan tuntutan di sidang ketiga sekaligus terakhir. "Kami merasakan semangat para martir memenuhi ruang sidang sakral ini dan bagi yang kehilangan penglihatan akibat peluru terdakwa, juga mengharap keadilan dan menuntut hukuman setimpal atas orang-orang yang telah menyerang mereka," ujarnya.
Sebelumnya di awal persidangan, kepala tim penuntut umum, Mustafa Suleiman berkata, "Ia (Mubarak) tidak pernah bisa, sebagai pejabat tertinggi, engklaim tidak tahu apa yang terjadi." Suleiman menegaskan sangat tidak rasional dan tak logis mengasumsikan Mubarak tak tahu bahwa pengunjuk rasa diserang oleh peluru.
"Ia bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan harus menanggung konsekuensi hukum dan politik atas peristiwa itu," tegasnya. Kepada Mubarak yang hadir di persidangan, Suleiman berujar, "Jika anda tak mengeluarkan perintah itu sendiri, maka kemana kemarahan anda atas kematian rakyat anda sendiri?"
Suleiman mengatakan pemeriksa mendapatkan bukti dari 2000 saksi mata yang di antaranya adalah dokter, pemrotes, dan petugas kepolisian. Dalam hari kedua dari tiga kali pemeriksaan yang dijadwalkan pada minggu ini, Mubarak tampil di ruang persidangan.
Layar besar yang dipampang di ruang persidangan memperlihatkan petugas polisi mengisi senjata dengan amunisi dan menembak para pemrotes. Layar lainnya memperlihatkan seorang petugas polisi berdiri di atas mobil polisi dan membunuh pemrotes dengan tembakan di kepala.
Selama bertahun-tahun pemerintahannya, Mubarak menyediakan peralatan militer dan ekonomi, termasuk peralatan anti huru-hara, gas air mata, dan senjata untuk menghadapi pemrotes. Keputusan untuk menggunakan kekerasan dimulai pada 27 Januari, satu hari sebelum puncak kekerasan terjadi.