REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Andrie S Wijaya, mengatakan penghancuran sumber daya alam yang terpimpin oleh pemerintah itu tak memberi jaminan keamanan dan kesejahteraan untuk rakyat sipil. "Akhir-akhir ini malah terjadi konflik warga sekitar dengan pihak perusahaan pertambangan. Akibatnya, warga pun dihadapkan dengan jajaran keamanan yang menyebabkan beberapa korban jiwa," katanya dalam diskusi di Jakarta, Jumat (13/1).
Fakta Jatam di 2011, di Desa Hutagodang Muda Mandailing, Sumatra Utara, satu orang warga ditembak dan enam orang masyarakat sipil disidangkan terkait penolakan PT Sorik Mas Mining. Di Tiaka, tiga orang tewas dan puluhan lainnya luka akibat bentrok dengan aparat dalam perjalanan pulang usai melakukan aksi di kilang minyak PT Medco. Satu orang tewas tertembak timah panas dan tujuh lainnya luka parah saat polisi membubarkan aksi buruh Freeport, Papua.
Selain itu, tiga orang warga Desa Praikaruku Jangga, Sumba Tengah diadili, sebab dianggap sebagai aktor perusak alat berat PT Fathi Resources. Terakhir, tiga orang tewas diterjang timah panas, satu orang hilang, dan 30 orang lainnya luka tembak saat menolak perusahaan tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara di Sape, Bima.
Data rekonsiliasi nasional izin usaha pertambangan (IUP) 2011 yang dihimpun Jatam dari BPS dan Ditjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM menunjukkan kantong-kantong kemiskinan justru berada di provinsi dan kabupaten yang menjadi lokasi beroperasinya tambang. Dia mencontohkan, seperti di Kalimantan Timur (788 izin tambang), Bangka Belitung (303 izin), dan Kalimantan Selatan (261 izin), Jawa Timur (209 izin), Sumatra Selatan (189 izin), Aceh (75 izin), Nusa Tenggara Timur (56 izin), dan Papua (sembilan izin).
Prosentase penduduk miskin terbesar dari administrasi desa ada di Papua (46,02 persen). Berikutnya NTT (25,10 persen), Aceh (23,54 persen), Jawa Timur (19,74 persen), dan Sumatera Selatan (14,67 persen).