Kamis 19 Jan 2012 17:36 WIB

Fatwa MUI: Waspadai Paham Syiah!

Penganut Syiah melukai diri sendiri saat merayakan Hari Asyuro, hari terbunuhnya Husain, cucu Rasulullah, di Padang Karbala.
Foto: arifaldoseri.com
Penganut Syiah melukai diri sendiri saat merayakan Hari Asyuro, hari terbunuhnya Husain, cucu Rasulullah, di Padang Karbala.

REPUBLIKA.CO.ID, Konflik Sunni-Syiah kembali memanas di Tanah Air. Kasus teranyar adalah serangan terhadap kompleks Pesantren Syiah di Madura, Jawa Timur, akhir tahun lalu.

Penyerangan tersebut terjadi pada Kamis (29/11) tahun lalu, tepatnya di kompleks pesantren Syiah yang berada di Dusun Nangkrenang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Karangpenang, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur.

Aksi ini disertai dengan pembakaran madrasah, mushola dan dua rumah pimpinan Syiah di kompleks tersebut. Kabarnya, pembakaran ini dipicu ketidaksenangan warga terhadap Tajul Muluk—pimpinan pesantren—yang menyebarkan ajaran Syiah selama lima tahun terakhir.

Massa dari kelompok Islam Sunni juga mengancam akan membunuh semua pengikut Islam Syiah karena ajaran kelompok ini dianggap sesat. Lantas bagaimana Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang aliran Syiah ini. Benarkah Syiah itu sesat dan menyesatkan?

Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pada bulan Maret 1984, MUI mengeluarkan rekomendasi tentang paham Syiah. Menurut MUI, Syiah adalah salah satu paham yang terdapat dalam dunia Islam, namun mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah wal Jamaah) yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia.

Berdasarkan Rakernas tersebut, MUI menetapkan beberapa rekomendasi, di antaranya:

1) Syiah menolak hadits yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak membeda-bedakan—asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu Musthalah Hadist.

2) Syiah memandang "imam" itu maksum (orang suci), sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan).

3) Syiah tidak mengakui ijma' tanpa adanya "imam", sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah mengakui ijma' tanpa mensyaratkan ikut sertanya "imam".

4) Syiah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni (Ahlus Sunnah wal Jamaah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan ke-imamahan-an adalah untuk menjamin dan melindungi dakwah dan kepentingan umat.

5) Syiah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan. Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah mengakui keempat Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib).

Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syiah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti disebutkan di atas—terutama mengenai perbedaan tentang "imamah" (pemerintahan), MUI mengimbau umat Islam Indonesia yang berpaham Ahlus Sunnah wal Jamaah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya paham yang didasarkan atas ajaran Syiah.

Walau demikian, fatwa atau lebih tepatnya rekomendasi yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Maret 1984 M/4 Jumadil Akhir 1404 H itu tidak secara tegas menyatakan kesesatan Syiah.

Rekomendasi ini ditandatangani oleh Komisi Fatwa MUI; Ketua Prof KH Ibrahim Hosen, LMI dan Sekretaris H Musytari Yusuf, LA.

sumber : Fatwa MUI
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement