REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Penguasa militer Mesir tengah mempertimbangkan untuk mempercepat transisi pemerintahan menuju kekuasaan sipil. Seorang juru bicara lembaga sipil mengatakan, hal tersebut termasuk mempercepat tanggal pemilihan presiden, Senin (30/1).
Beberapa aktivis memanfaatkan momentum tersebut untuk menekan penguasa militer yang sudah berkuasa sejak Februari agar turun dari tampuk kekuasaan. Para pendemo mengatakan penguasa sekarang telah menyalahgunakan masa transisi dan membahayakan hak asasi manusia. Mereka menilai hal tersebut justru lebih buruk dibandingkan rezim Mubarak.
Anggota panel sipil El-Kholy mengatakan, dewan penasihat telah mengadakan rapat khusus untuk mempercepat masa transisi. "Ini merupakan salah satu usaha untuk mengurangi ketegangan yang ada di jalanan," katanya seperti dikutip dari AP
El-Kholy mengatakan, salah satu usulan dalam konstitusi itu adalah memindahkan pemilihan presiden pada Mei. Untuk mewujudkannya, waktu yang diperlukan untuk memilih 100 anggota majelis harus dipersingkat.
Sementara itu, salinan hukum kepresidenan yang baru muncul di tulisan resmi kantor berita Mesir Egyptian Gazette. Dalam hukum tersebut disebutkan kandidat presiden harus mendapatkan dukungan dari setidaknya 30 anggota parlemen atau 30 ribu warga. Selain itu, kandidat presiden harus merupakan kelahiran Mesir, tidak memiliki kebangsaan ganda dan tidak menikah dengan warga negara asing.
Hukum tersebut dikeluarkan lima hari sebelum parlemen baru bersidang pertama kalinya pada 23 Januari. Kritikus menilai hal itu merupakan contoh bahwa militer mengontrol transisi dan parlemen terpilih dengan ketat.
Seorang anggota Ikhwanul Muslimin (IM), kelompok Islam yang mengontrol hampir setengah dari kursi di legislatif, membantah bahwa militer mengontrol hukum yang ada. "Kami tidak ingin menciptakan sebuah krisis. Ini bukan masalah sama sekali," kata Ahmed Abou Baraka.