REPUBLIKA.CO.ID, KRUSZYNIANY--Bangunan kecil bercat hijau terlihat samar di tengah pepohonan menjulang. Semakin mendekat, bangunan itu tampak menyerupai masjid. Benar saja, bangunan yang terbuat dari kayu ini memiliki tiga menara mini yang ujungnya terdapat bulan sabit. Ternyata masjid ini merupakan bangunan tertua di wilayah ini.
Tak jauh dari tempat itu, tampak sebuah desa terpencil. Desa itu terletak tepat di perbatasan Liuthania dan Belarusia. Ya, itulah pemukiman keturunan Tatar Muslim yang telah menetap beradab-abad. Di sini, mereka coba menghidupkan kembali budaya leluhur yang terkikis oleh waktu, imigrasi, asimilasi, dan penindasan. Perlu diketahui, komunitas Tartar Polandia banyak menetap di perbatasan Liuthania dan Belarusia.
Mereka adalah keturunan campuran Slavia-Turki. Namun, mereka tidak lagi berbahasa Turki. Mereka juga merayakan Natal, menikah dengan kalangan non-Muslim, mengkonsumsi babi dan alkohol. Meski demikian, mereka tetap mengaku seorang Muslim.
Di masjid hijau tadi, mereka berupaya mengembalikan identitas mereka sebagai seorang Muslim. Tidak mudah memang. Sebab, tekanan terhadap mereka begitu besar. "Kami tidak dapat menjalankan keyakinan sebagaimana mestinya. Berbeda dengan umat agama lain yang begitu leluasa," ungkap Imam Masjid Hijau, Janusz Aleksandrowicz, seperti dikutip dailystar.com, Selasa (30/1).
Janusz mengungkapkan, harapannya generasi baru Tartar dapat menguasai bahasa Arab, mengkaji Alquran dan Hadist. Dengan demikian, kualitas spiritual generasi mendatang tetap terjaga.
Harapan Janusz setidaknya mulai terwujud. Komunitas Muslim Tartar mendapatkan subsidi sebesar 1.77 juta dolar untuk membangun sebuah pusat budaya dan agama. Dana itu merupakan sumbangan dari pemerintah Polandia dan Belgia. Baru-baru ini, Arab Saudi juga mulai memberikan bantuan dengan mensponsori Muslim Tartar pergi haji ke Mekah.
Nenek moyang pejuang Tatar mulai menetap di Polandia-Lithuania pada abad ke-14. Diawal jumlah mereka cukup besar. Namun, segera menyusut setelah terjadi tragedi menimpa Polandia pada abad ke-20.
Dzenneta Bogdanowicz, salah seorang Muslim Tartar yang memiliki restoran dekat masjid, mengatakan hanya sedikit yang tersisa dari budaya. Ia mengatakan budaya Tartar tidak akan lestari tanpa Islam.
"Kami memberitahu mereka siapa kita, menjelaskan bahwa agama kita adalah Islam. Sebuah agama yang membawa perdamaian, "katanya.
Gebicki, Muslim Tartar lainnya berpendapat dengan diterimanya keanggotaan Polandia di Uni Eropa pada tahun 2004, pertumbuhan ekonomi yang kuat dan peningkatan pariwisata domestik, ada harapan budaya Tartar akan bangkit kembali.