REPUBLIKA.CO.ID, Bagi sebagian besar umat Islam, nama Najamuddin At-Tufi, mungkin masih terasa asing di telinga. Namanya memang tidak setenar Yusuf Al-Qardhawi, Ibnu Taimiyah, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hambal, atau Imam Bukhari, Imam Muslim, dan lainnya.
Namun demikian, di kalangan tokoh Muslim dan peminat ilmu hukum Islam, ketokohan ulama asal Bagdhad, Irak, ini banyak diperhitungkan. Namanya disejajarkan dengan nama besar nama Ibnu Taimiyah, sang guru At-Tufi.
At-Tufi dikenal sebagai salah seorang ulama madzhab Hambali, yang kritis dan tajam dalam menetapkan hukum-hukum Islam, terutama berkaitan dengan kemashalahatan umat.
Contohnya, dalam kasus potong tangan bagi pencuri. Dalam kasus tertentu, hukum potong tangan ini, menurut At-Tufi, tidak perlu dilakukan, manakala yang orang yang mencuri ini terpaksa melakukan perbuatan tersebut demi keselamatan jiwanya.
Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Umar bin Khathab RA, saat menjadi khalifah, menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ketika itu, sang pencuri tidak dipotong tangannya. Mengingat, ia terpaksa melakukan pencurian di rumah majikannya, karena sudah beberapa bulan gajinya tidak dibayarkan.
Padahal, ia sangat membutuhkan uang gaji tersebut untuk makan anak dan istrinya yang sudah beberapa hari tidak makan. Oleh Khalifah Umar RA, sang pencuri ini malah diberikan sejumlah uang dan sang majikan diberikan hukuman dengan membayar uang kepada pencuri tersebut.
Dalam kasus ini, At-Tufi melihat bahwa dalil-dalil Alquran yang qath'i (sudah jelas hukumnya), masih bisa berubah, apabila ada persoalan lain yang manfaatnya lebih besar. Menurutnya, langkah Khalifah Umar tidak melaksanakan potong tangan kepada si pencuri, bukan berarti tidak melaksanakan hukum Allah, melainkan menyelamatkan jiwa si pencuri.
Ini sesuai dengan maqasid asy-syariah (maksud hukum Islam), yakni menyelamatkan jiwa (Hifzh an-Nafs), memelihara agama (Hifzh ad-Din), menyelamatkan harta (Hifzh al-Maal), memelihara keturunan (Hifzh an-Nasl), dan memelihara akal (Hifzh al-Aql).
Begitu pula mengenai hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari mengenai larangan perempuan menjadi pemimpin, Lan yufliha al-Qaumu wa law amruhum imra'atan, tidak akan bahagia suatu kaum, apabila menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan.
Menurut At-Tufi, hadis ini bukan bermakna umum, melainkan khusus. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Arab jahiliyah yang melarang perempuan untuk keluar rumah. Karena larangan tersebut, mereka jarang sekali terlibat dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan. Oleh karena itu, kata At-Tufi, akan sangat berbahaya menyerahkan kepemimpinan negara atau masyarakat kepada kaum perempuan yang mereka sendiri tidak mengetahui perkembangan masyarakat.
Sebaliknya, tambah At-Tufi, di zaman sekarang ini, sudah banyak kaum perempuan yang bersekolah dan memiliki kemampuan serta keahlian, baik ekonomi, politik, pendidikan, dan lainnya. Karena itu, At-Tufi membolehkan kaum perempuan untuk memimpin sebuah negara.
Selain masalah ini, masih banyak lagi pandangan At-Tufi yang kritis dalam memahami hukum Islam. Ia tak segan-segan mengkritik ulama-ulama yang menetapkan hukum berdasarkan sumber yang ada tanpa menelaah tujuan besar dari hukum Islam (Maqasid As-syariah).