REPUBLIKA.CO.ID, Apalah arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Ungkapan Shakespeare dalam Romeo and Juliet itu tampaknya tak berlaku bagi Osama Aljohani, mahasiswa asal Arab Saudi yang menempuh studi di negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS).
Osama mengaku banyak mengalami tekanan gara-gara nama yang disandangnya sama dengan pemimpin Alqaidah Osama bin Laden, yang kata pemerintah AS gembong teroris.
Mahasiswa pada program sudi rekayasa listrik Universitas Nebraska Lincoln itu datang ke AS atas beasiswa dari negari asalnya, Arab Saudi. Butuh dua tahun, Osama untuk merasa nyaman sebagai seorang Muslim di kampus.
"Awalnya sulit, karena nama saya adalah Osama," katanya seperti dikutip dailynebraska.com, Rabu (8/2).
Saat itu, kenang dia, kemampuan bahasa Inggrisnya sangat buruk. Belum lagi, ia tidak memiliki banyak teman. "Saya itu awalnya mencoba bertanya kepada profesornya, apakah saya harus dipanggil dengan nama depan," kata Osama.
Kini, Osama tidak lagi merasakan kondisi demikian. Kemampuan bahasa Inggrisnya mulai membaik. Ia pun mulai banyak memiliki teman. "Saya berterima kasih sekali kepada Asosiasi Mahasiswa Muslim (MSA)," ucap pemuda yang kini menjadi presiden asosiasi tersebut.
Sekretaris MSA, Symone Kayyem, yang merupakan mahasiswa jurusan Bisnis Internasional juga mengalami pengalaman serupa dengan Osama. Ia menjadi korban stereotip negatif dan kesalapahaman tentang Islam.
"Saya pernah bertemu seseorang di kampus, lalu ia berkata kepada saya, 'Anda terlalu cantik sebagai seorang Muslim."
Kayyem mengatakan banyak mahasiswa yang sering "kaget" saat mengetahui dirinya seorang Muslim. Padahal ia tidak mengenakan jilbab. "Setelah aku sudah mencapai titik tertentu dalam keyakinanku. Saat itulah aku mengenakan jilbab," ucapnya.
Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional, Patrick Barney yang merupakan mualaf memiliki pengalaman lebih buruk. Ia mendapatkan ancaman dari keluarganya yang merupakan penganut Kristen.
"Pergilah ke nereka," kata Patrick menirukan umpatan ayahnya saat ia diketahui memeluk Islam.
Adaptasi Lingkungan
Bagi Osama, yang semenjak kecil besar dalam lingkungan Islami, tentu merasa terkejut dengan kehidupan di AS. Ia kesulitan mencari masjid untuk shalat, ia tidak tahu kapan waktu shalat tiba dan lebih buruk lagi, ia tidak tahu kemana harus mencari rumah makan halal.
"Saya pernah ditertawakan saat melaksanakan shalat," kenangnya.
Kayyem sendiri punya pengalaman serupa dengan Osama. Ia dihadapkan dalam situasi dimana harus mengkonsumsi makanan yang tidak diketahui status kehalalannya.
"Saya tidak ingin mengkonsumsinya," kata dia.
Namun, Kayyem berterima kasih kepada MSA dalam menghadapi lingkungan yang berbeda. "Saya senang menjadi bagian dari MSA. Anda bisa berdiskusi saat menghadapi masalah," kata dia.
Saat ini, MSA memiliki sekitar 30 anggota aktif. Dalam sebulan, MSA memiliki sejumlah kegiatan seperti studi Alquran. Mereka juga merayakan hari besar Islam dan agenda silaturahim rutin yang mengundang semua mahasiswa dari berbeda agama.