Jumat 09 Mar 2012 16:16 WIB

Pendiri Mazhab: Imam Hanafi, Dari Pedagang Menjadi Imam Besar (4-habis)

Rep: Burhanuddin Bella/ Red: Chairul Akhmad
Imam Hanafi (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Imam Hanafi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Mendengar ancaman itu, Imam Hanafi tetap bergeming. Seperti baja yang kuat, ia teguh pada pendiriannya.

Terhadap ancaman yang didengarnya, ia menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan menerima jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekali pun aku akan dibunuh oleh pihak kerajaan.”

Pada suatu kesempatan, sang Khalifah memanggil para ulama ahli fikih terkemuka di negeri itu. Mereka diundang untuk diberikan kedudukan resmi dalam pemerintahan, tidak terkecuali Imam Hanafi yang diberi tanggungjawab di bidang keuangan negara. Seperti yang sudah-sudah, tugas yang ditawarkan disertai ancaman hukuman.

Lagi-lagi, Imam Hanafi menolak jabatan itu. Ia dikurung selama dua minggu, lima belas hari, dan dicambuk sebanyak 14 kali, lalu dibebaskan. Tak lama menghirup udara bebas, ia ditangkap lagi. Pangkal soalnya, ia kembali ditawari jabatan qadhi, dan ditampiknya. Kali itu, hukumannya jauh lebih berat; dera 110 kali cambuk. Ia merasakan sepuluh kali cambukan setiap hari, dan baru dilepas setelah cambukan mencapai jumlah bilangan hukuman.

Akibat cambukan sebanyak itu, muka dan seluruh badannya bengkak. Menurut sebuah kisah, hukuman cambuk sengaja ditimpakan kepadanya untuk menghina Imam Hanafi. Toh, ia tetap tak bergeming. Dia berujar, “Hukuman dera di dunia lebih ringan daripada hukuman neraka di akhirat nanti.”

Tak mau berhenti membujuk Imam Hanafi memangku sebuah jabatan di pemerintahan, Khalifah Abu Ja'far kemudian memanggil ibunda sang Imam. Sang ibu diperintahkan agar membujuk puternya agar mau menjadi bagian dari birokrasi kerajaan. Ternyata, bujukan sang ibu tidak meluluhkannya. Setiap kali dibujuk, ia selalu menolak dengan sopan.

Kepada ibunya ia mengutarakan alasannya. “Ibu, jika saya menghendaki akan kemewahan hidup di dunia ini, tentu saya tidak dipukuli dan dipenjarakan. Tapi saya menghendaki akan keridhaan Allah SWT semata dan memelihara ilmu pengetahuan yang saya peroleh. Saya tidak akan memalingkan pengetahuan yang selama ini saya pelajari kepada kebinasaan yang dimurkai Allah,” kata Imam Hanafi.

Mengapa ia kokoh menolak berbagai jabatan? Dalam berbagai literatur disebutkan, Imam Hanafi sadar, pemerintahan masa itu berdiri bukan atas dasar sunah Rasul, melainkan pemerintahan monarki yang sebagian besar bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kebijakan pemerintah lebih banyak bertumpu pada kehendak penguasa. Itulah sebabnya ia rela dipenjara dan menerima deraan, dicambuk tiap pagi dalam keadaan leher dikalungi rantai besi yang berat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement