REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Lembaga Peneliti Kebijakan Pemerintah (Prakarsa), mencatat potensi pajak yang hilang tahun ini mencapai Rp 512 triliun. Jumlah tersebut, juga setara dengan sebanyak 50 persen dari total penerimaan pajak yang diproyeksikan sebesar Rp 1.033 triliun. Menurut Direktur Eksekutif Prakarsa, Setyo Budiantoro, kalkulasi tersebut berhasil dicatat pihaknya berdasar pada kapasitas penerimaan pajak.
Dalam hal tersebut, yakni juga turut mempertimbangkan perkiraan konservatif International Monetary Found (IMF), yang menganggap Indonesia sebagai negara pendapatan menengah memiliki potensi kehilangan juga lebih dari 40 persen. “Karena itu tak heran jika hal tersebut malah menambah beban utang negara,” kata dia dalam jumpa pers, di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (13/3).
Pada penambahan utang tersebut, pihaknya mencatat pemerintah akan merencanakan menambahkan utang sebanyak Rp 50 triliun. Jika diakumulasi, kata Setyo, jumlah utang mencapai rekor, yakni sebesar Rp 2.000 triliun. Karena itu, setiap penduduk dipastikan akan menanggung utang yang diambil negara sebesar Rp 8 juta.
Pada dampak lainnya, besarnya potensi pajak yang tidak terserap juga berimbas terhadap produk domestik bruto (PDB) yang hanya berkisar 12 persen. Padahal, ungkap dia, rerata penerimaan pajak negara menengah bawah (lower middle income) mencapai 19 persen. Yang lebih ironis, kata Setyo, rasio pajak Indonesia bahkan di bawah rerata negara miskin (low income) yang sudah mencapai 14,3 persen.