Selasa 27 Mar 2012 17:11 WIB

Hujjatul Islam: Syekh Yusuf Al-Makassari, Ulama dan Sufi dari Makassar (4)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Syekh Yusuf Al-Makassari (ilustrasi).
Foto: majalahversi.com
Syekh Yusuf Al-Makassari (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Sejak kecil ilmu tasawuf sudah mencuri perhatian Syekh Yusuf. Sebagain besar perhatiannya tercurah pada ilmu yang kelak mengantarnya sebagai seorang guru besar.

Pengetahuan mengenai tasawuf diperolehnya dengan cara menimba ilmu dari sejumlah ulama besar yang bermukim di tempat-tempat yang pernah ia singgahi.

Sebut saja diantaranya Syekh Nuruddin Ar-Raniri, ulama masyhur di Aceh; Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh Al-Kabir Mazjaji Al-Yamani Zaidi Al-Naqsyabandi, ulama yang mengagas Tarekat Naqsyabandi; Syekh Maulana Sayid Ali, penggagas tarekat Al-Baalawiyah; Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani, ulama asal Madinah pencetus Tarekat Syattariyah; Syekh Abu Al-Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi, ulama Damaskus pengaggas tarekat Khalwatiyah.

Karena itu pula, Syekh Yusuf pun banyak menulis buku dalam bidang tasawuf. Buku-buku mengenai ajaran tasawuf ditulisnya ketika dalam perantauan dan pada saat menjalani pengasingan. Ketika menjalani pengasingan di Srilanka, salah seorang ulama besar dari India yang ia temui di sana, Syekh Ibrahim Ibnu Mi'an, meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.

Begitu juga selama menetap di Banten, Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara. Salah satu bukunya, Al-Barakat al-Sailaniyya, yang berisi informasi tentang cara bagaimana mengikuti jalan sufisme, seperti berdzikir, syahadat, dan cara bagaimana mendekatkan diri kepada Allah (muraqabah).

Pendapatnya dalam buku ini, ada tiga cara mengingat Allah (dzikir), yakni melalui dzikr al-nafi wa al-ithbat dengan mengucap La ilaaha Illa Allah; dzikir al-mudjarrad wa al-djalala, dengan mengucap 'Allah'; dan dzikir al-ishara wa al-anfas dengan mengucap 'hu'.

Karyanya yang lain, Al-Fawa'ih al-Yusufiyya fi Bayan Tahqiq al-Sufiyya, ditulis ketika dia menjawab pertanyaan orang mengenai beberapa masalah agama. Ia menganjurkan orang untuk banyak membaca Alquran dan memperkuat tauhid, di samping mengamalkan kewajiban agama. Dalam buku ini, ia juga merekomendasikan kepada mereka untuk sabar, syukur, dan jujur.

Seperti halnya Al-Fawa'ih al-Yusufiyya fi Bayan Tahqiq al-Sufiyya, dalam kitabnya, Hashiyya, Syekh Yusuf juga menjelaskan makna syahadat, yang berarti kekuasaan apa pun berasal dari Allah. Kitab Hashiyya ini hampir sama dengan buku Kayfiyat al-Mun-ghi wa al-Ithbat bi al-Hadits al-Qudsi, yang dia tulis di Srilanka. Kitab ini menjelaskan pentingnya mengingat Allah SWT di mana pun dan kapan pun, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Didalam kitab ini juga dijelaskan cara-cara bertobat dan memperoleh ridha Allah SWT.

Sementara dalam kitabnya yang berjudul Mathalib al-Salikin, sang ulama tasawuf menjelaskan keesaan Allah sebagai landasan untuk menjadi seorang Muslim. Menurut dia, seorang Muslim harus percaya pada konsep tauhid (keesaan Allah) dan makrifah (pengetahuan tentang Allah) serta menjalankan ibadah. Urutannya dapat dilihat sebagaimana pohon, terdiri atas batang yang diibaratkan sebagai tauhid, cabang serta daun-daunnya diibaratkan sebagai makrifah, dan ibadah sebagai buahnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement