REPUBLIKA.CO.ID,vJAKARTA--Selain dua pasal soal verifikasi partai peserta pemilu dan penetapan PT nasional, UU Pemilu yang baru saja disahkan DPR dianggap masih menyisakan beberapa kelemahan lain. Antara lain terkait dengan penetapan alokasi kursi, khususnya untuk tingkat DPR.
''Data alokasi kursi DPR itu data siluman. Karena tak jelas dari mana asalnya, menggunakan metode apa dan basisnya apa,'' kata konsultan pemilu Kemitraan, August Mellaz di Jakarta, Ahad (22/4).
Menurut Mellaz, para pembuat undang-undang hanya mencomot data pada undang-undang sebelumnya, yaitu UU Nomor 10/2008 tentang pemilu anggota DPR, DPRD, dan DPD. Data ini langsung dimasukan sebagai lampiran di undang-undang yang baru tanpa ada penjelasan mengenai sumber data kependudukan yang digunakan sebagai dasar alokasi 560 kursi DPR.
Di satu sisi, lanjutnya, DPR tak menolak data sensus penduduk 2010. Di lain pihak, data agregat kependudukan per kecamatan (DAK2) belum tersedia.
''Makanya tim perumus dan tim sinkronisasi sepakat mempertahankan lampiran UU Nomor 10/2010 tentang pembagian dapil DPR sebagai lampiran RUU Pemilu,'' papar dia.
Padahal, lanjut Mellaz, seharusnya dasar alokasi kursi DPR sebaiknya menggunakan data kependudukan sensus 2010. Data ini dianggapnya lebih valid untuk menentukan berapa alokasi kursi untuk setiap wilayah di Indonesia.
Metodenya pun sederhana. Yaitu, membagi kursi secara proporsional sesuai dengan jumlah penduduk di wilayahnya. Dari simulasi yang dilakukan, ada perbedaan alokasi kursi jika menggunakan data sensus dengan acuan yang digunakan di UU Pemilu.