REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Parlemen Myanmar bersidang tanpa dihadiri Aung San Suu Kyi setelah diboikot oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Senin (23/4). Mereka tidak bersepakat atas susunan kata dalam sumpah jabatan anggota parlemen.
Protes yang dilancarkan partai Suu Kyi dapat merusak citra transformasi demokrasi yang ingin ditunjukkan pemerintah Myanmar. Langkah tersebut juga bisa memgancam pencabutan sanksi ekonomi dari Uni Eropa dan negara Barat.
"Kami tidak memboikot parlemen," ujar Suu Kyi kepada wartawan, Ahad (22/4).
NLD mempermasalahkan penggunaan kata 'melindungi' konstitusi. NLD ingin dilakukan amandemen dalam konstitusi untuk mengurangi kekuasaan militer. NLD ingin penggunaan kata 'melindungi' diganti dengan 'menghormati' konstitusi. NLD telah mengajukan petisi ke Presiden Thein Sein dan kepala parlemen. Beberapa orang mengatakan perubahan tersebut seharusnya sudah dilakukan sejak lama.
Suu Kyi dan 42 anggota parlemen terpilih dari NLD tidak menghadiri sidang parlemen. Mereka tidak akan menghadiri sidang hingga persoalan sumpah jabatan tersebut dipecahkan.
Juru Bicara NLD Nyan Win mengatakan ia percaya persoalan tersebut akan selesai dalam 10 tahun. Para pejabat partai mengatakan adanya dukungan dari dalam pemerintahan Sein untuk mengubah sumpah.
"NLD tidak menginginkan konfrontasi dan jika ingin mengambil sikap oposisi waktunya tidak tepat," ujar pengamat Myanmar Aung Zaw.
Menurutnya, isu tersebut dapat memecah belah dan membuat banyak orang kecewa karena banyak masalah penting yang perlu ditangani NLD saat ini di parlemen.
"Di negara manapun, termasuk AS penggunaan kata 'melindungi' konstitusi dipakai," kata anggota parlemen dari Partai Solidaritas dan Pembangunan (USDP) Khin Shwe.
Ia menambahkan, jika NLD ingin mengubah kata tersebut, hal itu harus dilakukan dari dalam parlemen.