REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Meski banyak yang mengecam usulan Wakil Presiden (Wapres) Boediono terkait pengaturan aza, ada juga yang menilai dalam konteks yang berbeda. Anggota Dewan Syariah Masjid Al Ikhlas, Jatipadang, Dr Ali Ahmadi ini menilai, wapres kemungkinan bermaksud agar jangan sampai kegiatan ibadah Muslim tak mengganggu kegiatan entitas sosial yang lain.
"Secara syariat, azan wajib dikeraskan suaranya. Tapi, kalau dikaitkan dengan kehidupan sekalipun, azan berperan memberikan rasa kenyamanan dan masa istirahat bagi yang mendengarnya," tutur Ali.
Suara azan yang bertalu-talu, dinilainya memberi tanda masa jeda bagi seorang Muslim yang tengah bekerja. Sedangkan rasa nyaman biasanya dialami seseorang yang hatinya bersih. Efek suara azan justru menenangkan jiwanya. Sementara pemilik hati yang kotor, jelas Ali, justru menjadi gelisah saat mendengarnya.
"Oleh karena itu, jika ada seorang Muslim yang tak setuju azan dikeraskan suaranya, dia akan menanggung sendiri akibatnya di hadapan Allah SWT dan pandangan miring dari masyarakatnya," jelas Ali. Dia pun tak mau, nantinya sebagai seorang pemimpin, Boediono memunculkan polemik di tengah masyarakat dan muncul dugaan pengalihan isu.
Sebelumnya, dalam sambutannya membuka Muktamar VI Dewan Masjid Indonesia (DMI), Wakil Presiden Boediono meminta kepada DMI mulai membahas tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid. "Kita semua sangat memahami bahwa azan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban shalatnya," kata Wapres.
Dikatakan Wapres, apa yang dirasakan barangkali juga dirasakan orang lain yaitu bahwa suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga.
Menurut Wapres, Alquran pun mengajarkan kepada umat Islam untuk merendahkan suara sambil merendahkan hati ketika berdoa memohon bimbingan dan petunjuk-Nya.