Senin 21 May 2012 21:33 WIB

Minhaj Al-Abidin: Suluh Hamba Meraih Puncak Kebahagiaan (2)

Rep: AR/ Red: Chairul Akhmad
Kitab (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Kitab (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Pergolakan pikiran Al-Ghazali diakuinya sendiri berlangsung selama dua bulan. Pengakuan itu ia tulis dalam kitab Al-Munqizh min Ad-Dhalal 75, yang disebut kalangan peneliti Barat sebagai buku 'Pengakuan Al-Ghazali'.

Kota tujuan Al-Ghazali setelah Nisapur adalah Kota Muaskar, Irak. Ia menetap di sana selama lima tahun. Lima tahun bukanlah waktu yang pendek bagi orang yang tidak pernah melewatkan waktunya kecuali dengan dialog, menulis, dan membaca.

Sulaiman Dunya menjelaskan, sampai di Kota Muaskar itu, Al-Ghazali telah meniti empat tahap pemikiran. Tahap pertama adalah kecenderungannya pada ilmu kalam (teologi), kedua filsafat, ketiga kepercayaannya pada Imam Mahdi sang juru selamat, dan terakhir pada jalan tasawuf.

Menurut Al-Ghazali, ia berkutat pada ilmu kalam karena ilmu ini punya tujuan membentengi akidah orang Mukmin dari arus pikiran ahli bid'ah. Akan tetapi, katanya, ilmu ini tidak mampu meyakinkan orang yang skeptis dalam keimanan. Bahkan, tidak menyentuh permasalahan itu sama sekali.

Adapun filsafat, menurutnya, mencabut keimanan seseorang dari dalam dirinya, karena melihat segala sesuatu hanya dengan rasionalitas.

Ia mengibaratkan penekun filsafat layaknya seorang hakim yang memastikan kebenaran setelah terkumpul banyak saksi dan bukti-bukti otentik dan rasional. Dengan demikian, jelasnya, akal tidak mungkin mampu menjangkau kebenaran alam metafisik, karena dunia ini tidak dapat dirasionalisasikan.

Lantas, apa yang diharapkan Al-Ghazali dari Imam Mahdi, sang juru selamat? Konon Imam Mahdi menerima kebenaran sejati langsung dari Allah melalui perantara Nabi Muhammad SAW. Ia berupaya mencarinya, namun tak kunjung mendapati siapa dan di mana Imam Mahdi itu. Akhirnya, ia menempuh jalan keempat, tasawuf.

Al-Ghazali berada di Syam ketika meniti jalan sufi. Menurut Sulaiman Dunya, ia berhasil 'mengawinkan' tasawuf dengan syariat, yang sebelumnya merupakan dua entitas yang saling bertentangan. Di tangan Al-Ghazali keduanya dapat disatukan dan saling menyempurnakan. Maka, pada masanyalah ilmu tasawuf menempati posisi istimewa di mata umat Islam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement