Kamis 24 May 2012 14:38 WIB

Gugat UU Migas, Kedudukan Hukum Muhammadiyah Dipertanyakan

Rep: Ahmad Reza Safitri/ Red: Dewi Mardiani
Ketua Hakim Konstitusi memimpin sidang pengujian materi undang-undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta
Foto: Antara
Ketua Hakim Konstitusi memimpin sidang pengujian materi undang-undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing) para pemohon, yakni Pimpinan Pusat Muhammadiyah dkk terkait gugatan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Hal itu diungkapkan Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Evita Legowo, saat membacakan keterangan dalam sidang Pengujian UU Migas, di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (24/5).

"Kedudukan pemohon harus dipertanyakan, apakah sudah tepat," ujarnya. Selain itu, pihaknya juga mempertanyakan perihal kerugian konstitusional para pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual. Menurut Evita, pemerintah selaku termohon tidak melihat adanya alasan lain yang diajukan oleh pemohon, yakni terkait pertimbangan uji materi UU Migas.

Karena itu, pemerintah menganggap para pemohon, yakni sebanyak 32 tokoh dan 10 ormas keagamaan, antara lain Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua MUI Amidhan, mantan Ketua PB NU Achmad Hasyim Muzadi, mantan Menakertrans Fahmi Idris, dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Prof Komaruddin Hidayat tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki legal standing. "Jadi MK harus menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)," ujar Evita.

Sebelumnya, PP Muhammadiyah bersama sejumlah ormas dan unsur perseorangan mengajukan uji materiil UU Migas ke MK, karena menilai sepuluh pasal terakhir dalam UU tersebut merugikan negara. Karena itu, UU Migas harus diubah, terutama menyangkut pasal yang menyatakan kewenangan pengelolaan kontrak BP Migas diperbaiki.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement