Oleh: Nashih Nashrullah, wartawan Republika
"Idza da’anil bu’du’ an baladi, zadani syauqu lahu. (Ketika aku jauh dari negaraku, semakin perasaan rindu mendatangiku)."
Kata-kata itu diucapkan oleh sopir minibus, Abu Ubaidillah, di tengah-tengah perbincangan selama perjalanan untuk mengantarkan saya mengelilingi situs-situs bersejarah di Amman, Yordania.
Bagi ayah lima anak tersebut, Yordania adalah negara yang kaya dengan sejarah. Peninggalan sejarahnya pun sangat beragam. “Sebab itu, saya mencintai negara saya,” katanya.
Beberapa situs bersejarah terletak di Amman, ibukota negara Kerajaan Hasyimiyah Yordania. Dengan biaya 30 dinar Yordania (1 dinar setara dengan sekitar Rp 13 ribu), Abu menyopiri saya sekaligus menjadi pemandu wisata.
Ada empat lokasi yang menjadi tujuan. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapainya satu hari penuh, dari pagi hingga petang menjelang. Itu pun dengan catatan, jalanan di Amman lancar. Amman tak jauh beda dengan Jakarta. Kemacetan ada di mana-mana.
Sepanjang perjalanan terlihat pemukiman padat. Sejumlah hotel- hotel mewah ternama juga berdiri megah. Demikian pula dengan mal dan pusat perbelanjaan. Amman boleh dibilang berkembang pesat di banyak lini. Gedung menjulang tinggi juga menjadi pemandangan jamak di sini.
Namun, pandangan mata saya tertuju pada rerumputan hijau dan pepohonan yang tumbuh subur di negara padang pasir dan penuh bukit ini. Pemandangan yang berbeda dengan kawasan Timur Tengah lainnya.
Ternyata, wilayah hijau di luar Amman merupakan hasil penghijauan. Tapi di Amman dan beberapa tempat lainnya, tanaman sayur dan buah tumbuh dengan sendirinya. Tak mengherankan. Yordania adalah salah satu daerah yang termasuk kategori wilayah yang diberkati Allah, berupa kesuburan tanahnya.
Masjid Raja Hussein
Tujuan pertama perjalanan dimulai dari Masjid Raja Hussein, sebuah masjid yang dibangun sekaligus diresmikan oleh Raja Abdullah II. Masjid ini didedikasikan untuk sang ayah, Raja Hussein. Lokasinya di pusat kota.
Bangunan ini berada di kawasan elite Amman. Rutenya pun termasuk jalur ke rajaan, antara lain, melewati Gabug, salah satu istana Abdullah II. Konon, sang raja kerap melaksanakan shalat Jumat di masjid ini.
Arsitektur bergaya Bizantium dengan perpaduan budaya Arab sangat kental terlihat, terutama dari bentuk kotak persegi dan empat menara utamanya. Ornamen dan interior masjid dipenuhi kayu berukir. Hamparan taman di sekitar masjid menambah kenyamanan dan keindahan masjid.