Judul: Tahta Mahameru
Pengarang: Azzura Dayana
Penerbit: Republika
ISBN: 9786027595002
Cetakan: I Maret 2012
Tebal: viii + 380 Halaman; 13,5 x 20,5 cm
Tahukah Anda Gunung tertinggi di Pulau Jawa? Tahukah Anda betapa indahnya Ranu Pane? Takukah Anda indahnya Ranu Kumbolo? Savanna Oro-oro Ombo, Kalimati, Cemoro Kandang, trek pasir, Tanjung Bira? Dan tentu saja, persiapan untuk travelling menuju ke sana.
Selama ini, bila kita ingin mengenal suatu daerah,maka kita akan membuka buku panduan pariwisata atau kita searching di Google, maka dengan mudah dan cepat keluar info yang dibutuhkan. Bagaimana dengan membeli satu buku, tapi kita dapat mengenal beberapa tempat yang mempesona di Indonesia?
Pilihan tema fiksi remaja tentang lokalitas masih sangat sedikit. Inilah start yang baik sekali diambil Azzura Dayana. Penulis yang suka travelling ini. Ia dengan sangat apik mengambarkan lokalitas beberapa daerah di dalam novel yang berjudul Tahta Mahameru. Berbagai tempat disebutkan di novel ini. Dari Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan hingga Sulawesi Selatan.
Adalah Raja Ikhsan, seorang remaja asal Jakarta penuh dendam dengan keluarga ibu tirinya. Ia berkelana mengantar lelah hati yang dibawa kemana Ia pergi. Bersama Fikri dan teman lainnya, ia mendaki Gunung Mahameru. Selama tiga kali mendaki, tiga kali ia bertemu dengan Faras, gadis desa yang suka membaca dan juga seorang guru Matematika di Ranu Pane.
Persahabatan yang penuh teka-teki antara Raja Ikhsan dan Faras ini menarik disimak, karena penuh dengan diksi yang indah. Faras si pecinta Kahlil Gibran dengan lembut menasehati sikap Ikhsan, seorang tipe pendaki yang lupa Tuhan ketika naik gunung. Ikhsan terus bertanya tentang esensi Tuhan. Simaklah dialog Ikhsan yang bertanya tentang esensi Tuhan.
“Allah hadir di mana-mana? Termasuk di atas Puncak Para Dewa?” tanyanya.
“Iya…”
“Jadi maksudmu, Allah berbagi tempat dengan para dewa?”
A-apa?
(Hal 55)
Faras berhati lembut lalu menawarkan persahabatan pada Raja Ikhsan yang sungguh sinis menepisnya. Namun, Faras tetap menawarkan persahabatan.
Kalimat yang menyertai foto Candi Borobudur dalam email Ikhsanlah, yang membuat Faras berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Faras lalu bertemu dengan Mareta yang cuek dengan agamanya. Bersama mereka bertualang ke Tanjung Bira.
“Jika saja bisa kuminta angin mengangkatku dari dudukku di Arupadhatu ini, tentu akan kulihat bentuk Borobudur yang serupa teratai dari atas. Teratai yang mungkin akan mengingatkanku lagi pada hamparan bunga yang sama di Danau Pane.” (Hal 203)
Selain keindahan daerah yang dikunjungi sang tokoh, kita akan terbawa dengan situasi adat Bugis yang ternyata masih mempraktikkan adat yang kejam demi membela harga diri keluarga, walaupun resikonya mati. Lewat tokoh Fikri, kita mengenal bahwa tradisi yang kadang lebih kejam dari hukum lainnya.
Novel ini penuh teka-teki, mengapa Faras begitu mudah mengikuti kiriman email Ikhsan? Mungkinkah Mareta akan membalas aksi Ikhsan yang telah mencelakakan ibunya? Benarkah kekhawatiran Faras akan terjadi? Apakah Ikhsan terus larut dengan rencana pembunuhannya?
Melalui dialog Raja Ikhsan, Faras, Faras, dan lainnya terbungkus renungan yang dalam tentang hakekat penghambaan kita sebagai manusia kepada Rabbnya.
Keunikan novel ini yang masih jarang digunakan penulis novel di Indonesia adalah sudut pandang tokoh. Terkadang di suatu bab menjadi orang pertama, dan kadang menjadi orang ketiga di bab lainnya. Tiap bab yang menceritakan kondisi batin tokoh dengan kuat dan penuh hikmah.
Novel ini semakin menarik karena mengupas cara pembuatan Kapal Pinisi. Kapal khas masyarakat Bugis. Masih jarang diketahui oleh remaja saat ini. Remaja lebih mengenal Lady Gaga, dibanding keistimewaan daerah di Indonesia.
Kesempurnaan novel ini agak sedikit terganggu dengan penggunakan huruf kapital dari kata Bapak, Ibu, Ando dan Ambe’ yang tidak konsisten. Selain itu, keterangan bahwa Aulia sang adik tiri Raja Ikhsan, yang tak lain adiknya Maretta, dikatakan seorang anak autis. Di sisi lain, diceritakan Aulia dapat membaca buku, bermain komputer, menonton film komedi romantis, atau berjam-jam menenggelamkan diri melukis di kanvas.
Sedangkan, autisme ialah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, di mana gejalanya sudah timbul sebelum anak tersebut mencapai usia tiga tahun, disebabkan oleh gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak, sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif. Adapun ciri-diri anak autis di antaranya adalah, sulit bersosialisasi, lebih suka menyendiri, hiperaktif, tidak peduli bahaya dan lainnya.
Hal ini bertolak belakang dengan tokoh Aulia yang digambarkan di novel ini. Cukup mengganggu karena Aulia digambarkan sosok yang bisa mengendarai mobil dan dapat berkomunikasi yang cukup baik dengan tokoh lainnya.
Sedikit kelemahan ini tertutupi dengan keindahan diksi dan deskripsi total penulis setiap daerah yang disinggahi tokoh. Endingnya menjawab pertanyaan yang terus disimpan rapi oleh penulis menjadi kejutan. Membawa sisi religi yang sangat menggugah. Sungguh bacaan yang bermutu, karena penulis mampu mengangkat kearifan lokal dengan apik, menarik, ringan dan renyah untuk semua usia pembacanya.
Nama Lengkap: Sri Rahayu, S.Hut
Nama Pena: Naqiyyah Syam
Nama Facebook: Naqiyyah Syam Full